30 Juni 2011

Murtadha Muthahhari; Ulama yang intelektual

Allamah Syahid Murtadha Muthahhari (1919-1979) Ulama Islam kontemporer terkemuka lahir di Khurasan dari keluarga Saleh. Ayahnya, Muhammad Husein Muthahhari, seorang alim yang sangat disegani. Pada Usia 12 tahun, Muthahhari kecil berangkat ke Qum, Iran, untuk belajar di bawah bimbingan langsung Ayatullah Boroujerdi dan Khomeini. Kuatnya ikatan batin Ayatullah Khomeini dengan sang murid, karenanya ketika Muthahhari wafat beliau berpidato dengan wajah sembab dipenuhi air mata "...Saya kehilangan seorang putra yang sangat tercinta dan berduka cita atas perginya seseorang salah satu tokoh hasil dari buah hidup saya". Selain kedua ayatullah di atas, Muthahhari juga belajar filsafat dari Allamah Thabathabai. Guru yang secara mendalam kenal dengan filsafat barat, dari aristoteles hingga Sartre.  Tulisan Sigmund Freud, Bertrand russel, Erich Fromm, Albert Einsten, dan sejumlah pemikir barat lainnya ditelaah secara mendalam oleh Muthahhari. Berbeda dengan kebanyakan pemikir Islam yang mengecap pemikiran barat kemudian bersuara lantang atas nama Islam padahal isinya barat dan menjadikan Islam sekedar lips belaka, Muthahhari mampu mengurai Islam menyentuh substansi.

Ciri yang sangat khas Muthahhari adalah pembahasannya yang padat dan berisi. Senantiasa menjadi pemantik yang siap berkobar, menghangatkan peradaban. Menjelaskan, bukan menghukumi. Beliau tahu betul bagaimana "mengkanter" dominasi pemikiran barat atas dunia, termasuk dunia Islam. Penjelasannya mengalir, mencerahkan, membangun, mengkonstruksi, dan mampu menyisihkan pemikiran barat menjadi catatan kaki tulisannya. Jarang dan sangat langka ada ulama yang fasih dalam Islam sekaligus piawai dngan barat. Tulisannya bagaikan mozaik yang terhampar indah berisi keutamaan Islam atas peradaban.

Ulama pada umumnya identik dengan mushalla, mesjid, khutbah, dll yang menggaransikan ketenangan hidup. Tetapi, beliau memilih badai daripada damai, meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat. Muthahhari aktif berdakwah dan menulis. Tiran Dinasti Shah tidak membuatnya tenang untuk tetap berdiam diri di mesjid. Beliau turun langsung, di radio suaranya terdengar, di depan pemuda beliau menyuarakan perlawanan terhadap bentuk penindasan. Bersama Ali syariati, beliau mengarsiteki Revolusi Iran. Sebuah revolusi yang membuat cemburu kaum Marxisme. Jika saja Karl Marx masih hidup, mungkin dia akan meminta petuah pada beliau dan segera meralat pernyataan "agama adalah candu". Pantas dikatakan,  jika Syariati adalah intelektual yang ulama, maka Murtadha Muthahhari adalah ulama yang intelektual.

Yah, Muthahhari memang tidak pernah akrab dengan tiran Dinasti Shah. Berulang kali diasingkan, masuk penjara. Tetapi pria bercambang ini tidak pernah menyerah. Malah, suaranya makin nyaring terdengar di depan ribuan pemuda Iran. Hingga revolusi meletus, beliau memimpin langsung ulama dan menjadi anggota Dewan Revolusi. Akibatnya, beliau dipandang oleh barat sebagai fundamentalis fanatik. Hal ini bisa dimaklumi, Revolusi Iran jelas-jelas mengakhiri kemesraan barat dengan Iran selama ini. Mereka tidak ingin melihat negara dunia ketiga yang kaya minyak tersebut mandiri apalagi melawan. Tapi kebencian rakyat Iran meluap, membakar puing-puing kemesraaan dan barat sampai tidak tersisa sedikit pun. Tidak peduli dengan embargo di sana-sini. Toh, Iran tetap kokoh sampai sekarang dan menjadi negara dunia ketiga yang tidak mempunyai utang, satu-satunya! Tapi di negara kita, sepertinya itu hanya mimpi. Seandainya saja...

Latar belakang Negara Iran yang Syiah, kelompok Islam minoritas yang berjumlah kurang dari seperempat pemeluk Islam di dunia, tetap menimbulkan kecurigaan. Banyak ulama mengendus-endus kejelekan Syiah, kalau tidak menganggapnya aliran sesat. Begitu juga dengan Muthahhari, tidak jarang label fanatik, fundamental, sesat, reaksioner, dialamatkan pada beliau. Malah ada sebuah blog yang khusus memperingatkan bahaya membaca buku-buku beliau, blog berbahasa Indonesia. Saya yakin, admin blog tersebut tidak pernah membaca sedikit pun karya beliau. Inilah yang disebut Muthahhari, "...Agama suci ini dicederai oleh orang-orang yang mengaku pendukungnya. Di satu pihak, serbuan penjajahan barat dengan kekuatan-kekuatannya yang tampak dan tidak tampak dan di lain pihak kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan kebanyakan orang yang mengaku pendukung Islam dalam abad kita ini, yang menyebabkan pemikiran-pemikiran Islam diserang dari segala pihak, dari prinsip-prinsip sampai pada praktik-praktiknya...". Islam mendapat pukulan telak dari pendukungnya sendiri yang bertindak dibawah panji agama. Itulah yang marak terjadi, termasuk di Indonesia. Muthahhari melanjutkan dengan bahasanya yang khas, "...Itulah sebabnya saya merasa berkewajiban untuk menjelaskan isu-isu ini sejelas mungkin".

Awal Mei 1979 Ulama besar itu, Allamah Syahid Murtadha Muthahhari, wafat dengan hujanan peluru yang bersarang di tubuh tuanya. Belum sempat beliau menikmati hasil jerih payahnya. Pantaslah jika Jalaluddin rakhmat menggambarkan kehidupan beliau dalam tiga babakan, "Sejarah hidup Murtadha Muthahhari dapat disingkatkan tiga kalimat saja: Ia lahir. ia berjihad. Ia syahid".
  

22 Juni 2011

10 Cara Atasi Tumpukan Bacaan yang Harus Dibaca

Apakah bahan bacaan Anda begitu banyak sehingga sudah menggunung? Jika begitu sekarang waktunya untuk mengatasinya. Berikut ini adalah 10 cara untuk melakukannya.

1.Beri tanda highlighter
Jika membaca koran atau majalah, bacalah dengan memakai Highlighter. Bacalah dulu secara sepintas lalu seluruh halamannya dan tandai semua judul yang menarik perhatian Anda. Kemudian kembali dari awal dan baca hanya artikel yang Anda sudah beri tanda.

2.Sobeklah
Jika Anda tidak mempunyai waktu saat ini untuk membaca artikel yang sudah Anda beri tanda, sobeklah halamannya dan tentukan waktu untuk membacanya nanti. Dengan cara ini, Anda tidak perlu lagi mencarinya di seluruh koran atau majalah Anda. Lagipula Anda tidak perlu menyimpan koran atau majalah yang tidak
diperlukan lagi.

3.Pakailah Kartu Indeks
Jika membaca buku, gunakan kartu indeks untuk mengingat bagian yang Anda anggap penting. Di dalam kartu itu dicantumkan nomor halaman, bagian di halaman itu (A=Atas, T=Tengah, B=Bawah) dan satu atau dua kata yang membantu Anda untuk mengingat hal yang menarik perhatian Anda. Dengan demikian Anda tidak perlu membuang waktu untuk mencarinya di seluruh bagian buku tersebut.

4.Membaca Cepat
Jika Anda mempunyai begitu banyak informasi yang harus Anda simpan, Anda mungkin harus mengambil kursus Membaca Cepat. Atau anda dapat mencari buku mengenai hal itu, dan melatihnya sendiri.

5.Tentukan Waktu Untuk Membaca
Tentukan tanggal dan waktu untuk membaca. Atau gunakan 15 menit setiap hari untuk membaca, dan catatlah waktu ini di kalender Anda. Ingatlah janji ini, seperti juga janji untuk mengerjakan hal lain. Dengan demikian, membaca akan menjadi bagian dari rutinitas Anda.

6.Hindari Kekacauan
Karena koran berisi kejadian terakhir, koran kemarin berisi berita yang sudah basi. Majalah hanya berlaku 1-2 bulan. Singkirkan koran dan majalah yang lama! 

7.Buatlah File 'Untuk Dibaca'
Bualah map khusus atau kerjangjang dengan tanda 'UNTUK DIBACA' untuk menyimpan seluruh bachan bacaan Anda. Akan lebih mduah untuk melihat berapa banyak yang harus Anda baca jika semuanya disimpan di satu tempat, daripada tersebar di seluruh rumah atau kantor Anda.

8.Cobalah Realistis
Jika bahan bacaan Anda sudah terlihat menggunung, mungkin Anda mencoba untuk mengerjakan terlalu banyak. Banyak orang yang terlalu ambisius dalam menentukan berapa banyak waktu yang mereka dapat pakai untuk membaca. Jangan biarkan bahan bacaan Anda melebihi tempat penyimpanannya. Jika begitu, sudah waktunya untuk menyingkirkan yang tak berguna.

9.Bawalah Bacaan Bersama Anda
Jika Anda merencanakan untuk pergi seharian, bawalah beberapa bahan bacaan Anda. Jadi, jika Anda mempunyai kesempatan, Anda bisa dengan mudah membacanya. Misalnya jika menunggu seseorang di kantor, sedang di kendaraan dalam perjalanan, atau sedang antri di kounter.

10.Sumbangkan.
Apakah Anda mempunyai buku atau majalah yang sudah tidak terpakai lagi? Anda dapat menyumbangkannya ke perpustakaan atau menjual ke tokok buku bekas. Perpustakaan setempat juga akan senang mendapat sumbangan majalah bekas.


Sumber: Maria Gracia - Get Organized Now

Menggugat; Kenapa Harus Keren ?

Saya berani bertaruh, tidak ada seorang pun di antara kita yang tahu secara "pasti" defenisi "keren". Kata yang sering kita lekatkan pada sesuatu. Di setiap tempat ada saja kata "keren". Saking familiarnya, sampai sampai kita tidak tahu definisi sebenarnya. Dugaan saya, (walaupun sangat meragukan), "keren" hanya terdefinisikan ketika dilekatkan pada suatu objek. Seperti kata "tampan", hanya terdefinisi jika melekat pada objek. Tetapi "keren" dan "tampan" tidak bisa dianalogikan begitu saja, ada jurang besar yang membedakan keduanya.

Bagaimana kalau saya katakan:
Keren itu, naik mobil pribadi kampus.
Keren itu, punya Blackberry. BBM-an tiap hari, di kantin, ruang kuliah, koridor, pete-pete, bahkan di toilet.
Keren itu
, jalan ke mall, nonton di XXI, nongkrong di Pizza Hut, singgah di Solaria atau, ngumpul di KFC.
Keren itu, Jalan-jalan ke Bali, berjemur di Kuta Beach, nginap di hotel berbintang.
Keren itu, Memakai barang merk terkenal yang harganya selangit.
Keren itu, nongkrong di Inulvizta, Nav, Orange, atau tempat karaokean yang lain.
Keren itu, ber-ladies night di Redtro, Balleza, dll.
Keren itu
, menikmati lagu-lagu Lady Gaga, Maroon 5, Taylor Swift, Rihanna, BEP, Cold Play, dan sejumlah musisi barat lainnya.

Itulah keren. Jika ada yang mau menambahkan, silahkan.

Baik, saya mau memperlihatkan fakta unik terkait dengan ke-keren-an.
Tahu tidak, kenapa mall, bioskop, kafe n resto, Bali, hotel berbintang atau tempat "keren" lainnya jadi tempat favorit untuk berfoto? Hasil jepretan di simpan di PC, terus di upload ke Facebook atau twitter. Kenapa? Hanya untuk memperlihatkan, "ini loh saya, keren kan!".  Lain lagi dengan status facebook, "@Kuta beach, panasnya,..hufft", "@Trans studio bareng blablabla", "@XXI", "@Kampung Popsa, yummi...". Kenapa? Supaya orang tahu, "ini loh saya, keren kan!". Masih banyak hal "keren" yang tidak disebutkan. Tapi tujuannya satu, yaitu SAYA KEREN!

Kita ke pertanyaan selanjutnya, kenapa orang berlomba-lomba menjadi keren? Tidak rumit menjelaskannya. keren adalah prestise, mirip dengan gelar sarjana, doktor, atau professor (walaupun orientasinya berbeda). Sedikit saja orang bergelar professor dan gelar tersebut punya prestise wah di mata orang. Menjadi keren itu berbeda dan ekslusif. Keren berarti extraordinary. Orang ingin menunjukkan, bahwa "saya berbeda dengan anda!", "saya bisa meraih sesuatu yang anda tidak bisa capai!", "saya lebih baik dari anda!"

Siapa yang menciptakan budaya keren? Masyarakat itu sendiri yang komponen utamanya adalah individu! Tapi perlu diketahui, keren tidak muncul dengan sendirinya, butuh patron/standar ke-keren-an. Disinilah budaya komsumtif yang biasa disebut komsumerisme dipacu sekencang-kencangnya. Adapun kapitalisme berperan untuk menyediakan segala barang/jasa demi telaksananya budaya komsumtif. Tidak hanya itu, kapitalisme menetapkan patron keren dan tidak keren. Diciptakanlah idol-idol sebagai model yang 'keren'. Jadi, dalam hal ini bisa ditarik benang merah, masyarakat komsumtif yang rakus, kapitalisme memfasilitasi sekaligus menetapkan patron, dan masyarakat/individu sendiri sebagai client (pemakai). Terjadilah hubungan patron-client (tuan-hamba). Saya ambil contoh, Sejelek apa pun rambut Justin Beiber , fans akan tetap menyukai bahkan menirunya. Kenapa? Justin Beiber adalah patron (simbol) ke-keren-an, mengikutinya berarti menjadi keren juga.

Dengan dukungan komsumerisme, budaya keren akan tetap hidup seperti sebuah siklus. Apa yang anda sebut keren hari ini belum tentu berlaku di keesokan hari, begitu seterusnya. Tidak akan berakhir selama rantai yang menghubungkannya tidak terputus. Individu akan terkooptasi, mau tidak mau harus ikut. Pilihannya hanya dua, anda ikut atau menyingkir dari masyarakat atau bersemedi di gunung, sendirian! Saya yakin tidak ada seorang pun diantara kita yang rela menghabiskan hidupnya di gunung sendirian.

Sudahlah! Toh, akhirnya hidup adalah omong kosong[?]

13 Juni 2011

Plato Menggugat Demokrasi

Filsuf besar Yunani Kuno, Plato (428-348 SM) pernah berkata: "bisa saja demokrasi menjadi mimpi buruk dalam sistem pemerintahan". pertama: demokrasi bisa mengarah pada gerombolan 'mafia' pemuas hasrat sesaat. Kedua: demokrasi yang dikuasai pandir yang hanya pintar beretorika. Ketiga: demokrasi mengarah pada intrik pertikaian. Menghindari hal tersebut, Plato mengajukan filosof-raja sebagai kepala negara. Filosof tidak diragukan lagi sebagai pencinta kebenaran mestilah mengambil keputusan sesuai prinsip kebenaran dan keadilan. Pesan Plato cukup jelas, pemimpin harus cinta kebenaran dan mampu menegakkan keadilan.

Gugatan Plato sangat mungkin benar. Tidak perlu kembali ke Zaman Plato untuk membuktikannya, lihat saja negara kita sekarang. Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai negara penganut demokrasi semakin tidak becus saja. Korupsi, kolusi, nepotisme, radikalisme, kapitalisme berwajah neoliberal, dan sekelumit masalah lain. Pemerintah yang seharusnya menjaga dan membangun negara tercinta, malah sibuk bersafari keluar negeri, menjajakan kekayaan alam pada investor asing, beretorika, dan pekerjaan konyol lainnya. Belum lagi budaya korupsi yang mengakar dari RT sampai pejabat teras. Akhirnya, kekuasaan diidentikkan dengan ladang korupsi. Akibatnya, pedagang, petani, akademisi, pengusaha sampai bencong ikut meramaikan Pemilihan Umum. Walaupun mungkin beberapa di antara mereka memang natin tulus, tapi yakinlah sebagian besar dari mereka bertujuan  untuk menduduki kursi empuk di gedung-gedung pemerintahan.

Belum lagi, ongkos demokrasi yang tidak kalah menterengnya. Tidak sedikit kandidat (bupati sampai Presiden) rela menggelontorkan milyaran rupiah demi kekuasaan. Seorang teman berseloroh, "ah, kekuasaan itu seperti barang dagangan dan pencari kekuasaan adalah pengusaha (pedangang,red)". Memang terlihat skeptis, tapi pernyataan teman saya ada benarnya. Korupsi disinyalir sebagai upaya 'mengembalikan modal'. Masih untuk kalau hanya mengembalikan modal. Toh, tidak ada pedagang mau rugi.

Artikel ini tidak akan selesai untuk menguraikan masalah yang mendera Bangsa Indonesia. Baiklah, kita kembali ke pokok pembicaraan. Pertanyaan yang paling mungkin kita lontarkan: sebagai sistem, benarkah kemusykilan terjadi karena sistem kita, demokrasi? Sistem multi-partai yang dianut pascarformasi yang dianggap kemajuan pesat bagi demokrasi malah semakin menenggelamkan Indonesia. Sekarang korupsi sudah dilakukan berjamaah. Istilah politisi, "yah, kita sama-sama tahulah...hehe". Apakah demokrasi yang patut dipersalahkan?

Anas Urbaningrum dalam acara Kuliah Tamu beberapa waktu lalu di Universitas Hasanuddin, menegaskan "perubahan mendadak pascareformasi membuat rakyat, termasuk politisi dan pemimpin kita, kaget. Reformasi dipahami secara sempit. Setiap pemilihan umum dianggap sebagai gelanggang kekuasaan, siapa saja boleh terlibat dan bertarung dalam politik. Inilah yang saya sebut demokrasi artifisial. Tapi, kita harus optimisi untuk mengubah demokrasi yang dipahami salah (artifisial,red) menuju demokrasi substansial, yaitu demokrasi yang beretika, menjunjung tinggi moral, dan mensejahterahkan bangsa sebagaimana cita-cita founding fathers kita". Perlu dipahami bahwa demokrasi semata alat dan hasilnya sangat bergantung bagaimana kita menggunakan alat tersebut.

Kita tidak pernah berharap gugatan Plato menjadi kenyataan, bahwa demokrasilah yang jadi biang keladinya. Hemat penulis, tidak perlu mengkambing-hitamkan demokrasi. Seperti kata pepatah, "daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin". Memperbaiki dan mencari pemimpin berintegritas yang memahami demokrasi sebagai alat untuk mensejahterahkan bangsa jauh bermanfaat.

Salam demokrasi...!

12 Juni 2011

Misi Kenabian dan Peradaban Ideal

Istilah nabi berasal dari Bahasa Arab nabiy berarti utusan (messenger) atau pembawa berita (prophet). Para nabi diutus (rasul) oleh Tuhan kepada manusia untuk menyampaikan pesan Tuhan, mengarahkan dan mengorganisasikan umat. Mereka datang untuk melepaskan belenggu yang mengikat manusia pada nafsu hewani, tuhan-tuhan palsu, dan berhala (idol). Nabi diberikan sifat khusus yang berbeda dengan masyarakat awam, disebut mukjizat, sekaligus untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Dalam sejarah kenabian, mereka diturunkan di tengah-tengah masyarakat untuk membimbing menuju jalan kebenaran. Sebagai utusan, Nabi bertugas memimpin manusia, mengelola dan menggerakkan manusia ke arah kehendak Tuhan dan demi kebaikan umat manusia. Walaupun Seorang Nabi diberi keistimewaan, kesempurnaan pribadi, dan ketidakcacatan, dia tidak lepas dari sifat kemanusiaan seperti makan, minum, berkeluarga, bahkan mati. Perbedaan mendasar Nabi dan manusia biasa terletak pada wahyu beserta tuntutannya. Wahyu sama sekali tidak membebaskan Nabi dari kehidupan masyarakat, tetapi menjadikan mereka teladan manusia sempurna bagi orang lain. Karena itu, Nabi diasosiasikan sebagai perintis dan pemimpin.

Misi seorang dapat dibagi menjadi 2 kategori, pertama: menyampaikan tahuhid, keesaan Tuhan (monoteisme individual). Bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah. Kedua: membangun peradaban dengan menancapkan pilar-pilar utamanya, yaitu keadilan dan kesederajatan manusia (monoteisme sosial). Kedua misi tersebut tidak terpisahkan dalam misi kenabian. Oleh karena itu, nabi yang tidak mampu membangun unsur monoteime serta peradaban ideal dalam msyarakat, dipastikan nabi tersebut palsu.

Karl Marx yang menuding agama (yang dibawa nabi) sebagai penghalang cita-cita ideal peradaban, komunisme. Menurutnya, agama, kapitalis, dan penguasa adalah biang kemelaratan kaum proletar. Bahkan Nabi digolongkan sebagai kelas penguasa oleh Marx. Untuk mencapai masyarakat ideal, kaum proletar harus melawan penindasan dan ketidakadilan dengan cara menumpas penghalang di atas. Dengan begitu lahirlah masyarakat tanpa kelas, tanpa penindasan, apalagi ketidakadilan. Jelas Marx tidak melihat kehidupan Nabi Muhammad selama menjalankan misi kenabian. Pandangan Marx yang materialistik tidak mampu melihat sisi lain dalam peradaban, yaitu spiritualisme.

Madinah (awalnya bernama yatsrib), tempat Nabi Muhammad membangun peradaban disulap menjadi 'surga duniawi' bagi masyarakat, termasuk non-Muslim. Tidak ada alasan untuk membantah fakta ini. Sepanjang sejarah manusia, ketauhidan dan peradaban ideal diramu menjadi satu. Jauh melampaui cita-cita Marx.

Menengok era globalisasi, nilai-nilai luhur peradaban selama masa kenabian mutlak untuk dicontoh. Sangat jelas dalam Al-Quran, bahwa nilai-nilai peradaban yang termaktub dalam agama menjadi lawan terhadap ketidakadilan dan segala bentuk penindasan. Mengapa harus nilai? Kondisi di masa Nabi jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Cara dan pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan konteks dan bentuk masyarakat kekinian. Jadi, satu-satunya yang bisa diterapkan adalah nilai-nilai luhurnya. Nilai bersifat universal dan tidak temporer sehingga masa berlakunya adalah sepanjang sejarah manusia, termasuk sekarang dan di masa depan.

Wallahu a'lam bishawab

8 Juni 2011

Rumi, Jiwa, dan Pengetahuan

Hanya dengan "pengetahuan" saja, jiwa tidak dapat diuji;
Pengetahuan berlimpah, jiwa yang lebih agung pun abadi
Jiwa kita melampaui milik si bukan-insani;
Sebab, kian pengetahuan, ia makin dipahami.
Meski malaikat meyandang jiwa yang lebih mulia;
Sebab mereka serba kamil nan tak memendam rasa.
Penguasa sanubari tetap punya jiwa;
Lampaui milik para malaikat! Tinggalkan amalan hina!

Itulah mengapa Adam pantas beroleh hormat malaikat;
Jiwanya, telah Tuhan tinggikan, ungguli jiwa mereka.
Sebab, bagaimana mungkin Tuhan yang Arif berfirman palsu:
Yang lebih tinggi hormati yang rendah?
Tidakkah Keadilan dan Kasih Tuhan menentang.
Seutas onak tanpa harkat dipuja sekuntum mawar?

Apakah jiwa itu? Kesadaran akan baik buruk,
tak suka kerusakan, gandrung kebaikan.
Dan, sebab hakikat jiwa damba kesadaran,
Yang lebih sadar, lebih agung jiwanya.
Sepotong jiwa agung menembusi segala batas,
Semua jiwa lain memuja dan menaatinya-
Jiwa manusia dan malaikat, burung dan ikan;
Sebab jiwanya mengangkas sedang jiwa lain merana.

Dan karena kesadaran-ia damba,
Dan ini tidak mencipta kesan kecuali pada wilayahnya.
Jiwa yang lebih sadar, lebih kemilau;
Dan lebih karib mereka akan Tuhan, ilahi.
Sebab jiwa itu suatu keseluruhan yang bisa dikenali;
Mereka yang tanpa wawasan tanpa jiwa.

*) Jalaluddin Rumi dikutip dari buku Manusia dan Agama; Membumikan Kitab Suci karya Murtadha Muthahhari

6 Juni 2011

Anas Urbaningrum, Target Utama Kasus Nazaruddin

Politik seperti yang diterangkan guru saya semasa duduk di bangku SMP dulu yaitu suatu upaya untuk meraih kekuasaan, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan tersebut. Secara normatif  definisi ini mensyaratkan, jika hendak bergelut di dunia politik, mestilah mempunyai power yang mumpuni. Seperti ungkapan populer, mempertahankan kekuasaan jauh lebih sulit daripada meraih kekuasaan. Lawan politik akan selalu awas da siap untuk menerkam jika sewaktu-waktu sang penguasa terlena dengan takhtanya. Oposisi adalah istilah bagi mereka yang menjadi lawan politik sang penguasa, biasanya berasal dari pihak yang kalah atau mereka yang tidak setuju dengan cara/sikap penguasa dalam menjalankan pemerintahan.  Patut diingat, pihak oposisi sangat jelas posisinya, semua orang tahu, karena umumnya telah 'mendeklarasikan diri' sebelumnya. Menurut penulis, oposisi jenis ini tidaklah begitu berbahaya lantaran gerakan mereka sudah jelas dan rakyat sudah tahu, yang akan mereka sampaikan akan berujung pada kritik atas pemerintah. Justru, yang paling berbahaya adalah lawan yang berwajah kawan, saya sebut 'oposisi oportunis'. Adalah mereka yang siap membadik sekiranya terdapat celah, "musuh dalam selimut" meminjam istilah lama. Bisa kita eksplorasi dan lihat bagaimana geliat 'oposisi oportunis' di Indonesia.

Bak sinetron berepisode panjang. Bedanya, Sinetron sampai kapan pun akhir ceritanya pasti bisa ditebak, sedangkan dalam politik banyak variabel yang berpengaruh sehingga akhir cerita mungkin tidak seperti yang diharapkan 'penonton'. Namun keduanya punya persamaan, masing-masing memainkan emosi 'penonton'. Pertarungan yang terjadi pun semata-mata demi 'penonton'.

Kali ini episode yang be-'rating' paling tinggi adalah Nazaruddin dan Partai Demokrat. Nazaruddin menjadi pemeran utama, dalangnya adalah media massa, oposisi, dan 'oposisi oportunis' tentunya. Sebelumnya, Angelina Sondakh diancang-ancang sebagai lakon utama, sayang kecantikan dan ketenaran gagal menaikkan 'rating'nya. Dia pun didepak dari peran utama dan digantikan oleh sosok muda yang namanya masih 'bau kencur' di mata khalayak. Masyarakat, termasuk penulis, yang cenderung untuk melihat pemberitaan sensasional menjadi sangat pas seiring dengan dimulainya episeode tersebut. Hasilnya cukup menakjubkan, Nazaruddin pun berhak menyandang gelar 'Norman II' sekaligus menggantikan Norman I yang sudah diendapkan entah dimana.

Analisa penulis, pertama: bagi partai lain (Selain Demokrat), kasus Nazaruddin bisa dijadikan pentungan besar untuk menjatuhkan eksistensi Demokrat. Hal ini bisa dipahami, kasus yang menimpa elit partai bisa dipastikan akan merusak citra partai. Yang perlu mereka lakukan (partai lain) adalah terus menyiapkan bahan bakar supaya 'nyala' kasus ini tetap terang, semakin lama bertahan akan semakin bagus. Inilah yang mereka harapkan. Tak terkecuali partai apa pun itu, koalisi maupun oposisi. Toh, tidak ada MuO sekiranya salah satu partai koalisi berbuntut kasus, yang lain akan turut serta membantu 'kawan'nya.

kedua: kasus ini sangat bisa dimanfaatkan sebagai adu kontes pembunuhan karakter tokoh tertentu. Nah, kalau ini dalangnya sudah macam-macam, lawan politik (jelas) sampai kawan sendiri. Anas Urbaningrum sepertinya paling tahu soal ini. Ketokohan Bung Anas (Anas Urbaningrum,red) yang cukup menjanjikan membuat mereka yang paling berkepentingan di pemilu 2014 kian resah. Pribadi yang dikenal cukup bersih serta sokongan partai besar menjadikan potensi Bung Anas untuk melanjutkan 'tradisi' pemerintahan Demokrat semakin kuat. 'Pemain lama', termasuk 'oposisi oportunis'  tidak akan sudi melihat hal ini. Nah, benang merah bisa ditarik dalam hal ini. Kasus Nazaruddin yang notabene pengurus teras Demokrat mau tidak mau akan ikut menyeret nama Bung Anas sebagai Pimpinan Demokrat. Skenario ini akan berujung selain 'penghancuran' Demokrat juga 'perusakan' citra Bung Anas. Itulah kenapa, bukan Bung Anas yang langsung mengeksekusi anggotanya, melainkan SBY sendiri yang turun tangan langsung. Terlalu riskan untuk membiarkan Bung Anas berkeliaran dengan situasi segenting ini. Meminjam istilah orang Makassar, 'awasko...banyak potong-potong leher diluar sana !!!

Episode kasus Nasaruddin sekali lagi tidak akan menguntungkan Demokrat. Semakin lama, dampaknya akan semakin buruk. Akan sangat baik jika SBY cepat meredakan dan mengalihkan isu ini (seperti yang biasa beliau lakukan).  Bagi Demokrat, moment 2014 terlalu indah untuk dilewatkan hanya karena kasus konyol Nazaruddin.

Ah, sudahlah kawan ini hanya omong kosong tentang politik...!!!