15 Agustus 2011

Menerapkan atau Sekedar Meneriakkan Ekonomi Islam

Secara pribadi, ada kesan tersendiri melihat kegigihan teman-teman yang memperjuangkan Islam. Melihat bahwa agama samawi termuda ini merupakan solusi komplit dalam semua aspek kehidupan. Jalan yang ditawarkan Islam,menurut mereka, merupakan kesatuan utuh. Menghilangkan sebagian, artinya merusak seluruhnya. Beragama tidak cukup dengan mengucapkan kalimah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, lebih jauh, merupakan jalan hidup, ideologi. Termasuk di dalamnya yang banyak mendapat perhatian khusus adalah bidang ekonomi. Terang saja, isu ekonomi yang mereka sebut "Islami" meluap-luap, menyuarakan idealitas, turun langsung dari Tuhan, dan dipraktekkan oleh Rasulullah sendiri dan pemerintahan pascanabi. Once again, saya bangga terhadap mereka.

Saya sendiri sebelum menulis artikel ini, terlebih dahulu menelaah pembahasan mengenai sistem ekonomi yang dimaksud "Islami" menurut teman-teman saya. Tidak lupa, usaha untuk membandingkannya dengan sistem ekonomi yang ditawarkan sosialisme, maupun kapitalisme. Semata dilakukan agar informasi yang didapat berimbang. Tentunya isi tulisan ini tidak akan terhindar dari penilaian subjektif saya. Akan tetapi, maksud saya jelas, ingin melihat perspektif secara "adil" dan meminggirkan sentimen pribadi di dalamnya.

Saya tergelitik dengan postulat Adam Smith, salah satu pakar ekonomi kapitalis, "otak bekerja karena perut". Itulah "tujuan" kapitalisme. Memutar otak, tenaga, dan segala usaha untuk memenuhi lolongan perut yang minta diisi. Argumen ini kemudian dipelintir, "setelah perut kenyang, apa lagi?". Pada titik ini kapitalisme dianggap mandek, tidak punya arah lagi. Malas, perut buncit, dan akhirnya runtuh. Cukup sederhana. Lain lagi dengan sosialisme, paham yang populer lewat Karl Marx ini membatasi kemampuan individu untuk berusaha. "Yang penting rakyat hari ini kenyang semua", slogan sederhana untuk menggambarkan kehidupan sosialisme. Lantas apa yang ditawarkan ekonomi Islam?

Jujur, saya tidak pernah menemukan pembahasan detail, yang ditawarkan mengenai ekonomi Islam. Yang terlihat, sering diulang-ulang, sistem ekonomi yang ditawarkan Islam adalah jalan tengah, antara kapitalis dan sosialis. Mengedepankan pemerataan ekonomi (mirip sosialis) sekaligus mengajurkan individu untuk mendapat banyak materi (kapitalis). Keunggulan yang disinggung banyak dikaitkan dengan kejayaan Islam masa lalu, sebelum paham materialisme menguasai dunia.

Saya sayangkan sangat ketika titik pembahasan telalu banyak diarahkan pada kelemahan kapitalisme. Kritikan bertubi-tubi memperlihatkan kelemahan yang dianut oleh kapitalisme. Langkah tersebut, menurut saya, tidak akan meruntuhkan kapitalisme, kalau pun tidak sia-sia. Mengapa? Kapitalisme merupakan paham dinamis. Kritik terhadapnya adalah saran bagi kapitalisme,  alih-alih meruntuhkan, malah semakin menguatkannya. Kritik kita akan dimaknai sebagai sempalan, sebagaimana paham alternatif yang banyak muncul di Eropa,yang hanya perlu diakomodasi untuk menyempurnakan sistem kapitalisme. Bukankah ini sia-sia kawan?

Belum lagi, praktek ekonomi Islami tidak diusahakan untuk diterapkan. Tidak perlu menunggu berdirinya khalifah islamiyah. Keberhasilan menerapkan ekonomi Islam, walaupun dalam skala kecil, akan menjadi bukti konkret untuk diikuti. Saya pikir, ini sangat efektif menggugah daya tarik masyarakat. Selama ini ekonomi Islam, hanya menang dalam teriakan, tanpa implementasi. Sangat disayangkan!

Penulis sadar betul, menerapkan sistem ekonomi Islam di bawah bayang-bayang ekonomi liberal kapitalis adalah hal sulit. Benturan pasti akan terjadi, silang pendapat, bahkan pertentangan antara keduanya. Jikalau status quo adalah ekonomi kapitalis, maka kita mencoba ekonomi Islam, mengapa tidak? Saya pikir tidak ada gunanya meneriakkan kejayaan Islam di masa lalu. Sejarah tidak akan mengubah apa-apa kawan, kecuali angan kedaulatan masa lalu. Tidak ada gunanya!

Wallahu a'lam bishawab...

13 Agustus 2011

Terjebak pada Pusaran Verbalisme

Menengok kondisi kekinian bangsa, sangat miris rasanya. Pemerintahan yang disokong dukungan kuat serta suara mayoritas rakyat Indonesia tidak berpengaruh signifikan dalam pembangunan bangsa. Pemerintahan SBY jilid II sedikit banyak telah terbukti "ompong" mengatasi masalah bangsa. Padahal, dalam sejarah pesta demokrasi pasca reformasi, SBY dan Boediono adalah peraih suara terbanyak. Awalnya, dukungan tersebut memberi kita harapan besar mengenai perbaikan bangsa dan negara. Apatah dikata, dilihat dari berbagai sudut pandang, pemerintahan kali ini lebih layak dijudge gagal.

Penulis pribadi, berbesar hati ketika SBY mendeklarasikan, untuk kesekian kalinya, penegakan supremasi hukum. Dalam perjalanannya, asa itu kemudian pudar seiring dengan kesibukan pemerintah mengurus dirinya. Alih-alih mengurus rakyat, SBY malah sibuk menjaga citranya di mata rakyat. Pekerjaan sia-sia yang tidak jelas juntrungannya. Pun kemajuan yang didengungkan selama ini tidak menyentuh rakyat secara riil. Hanya kata yang terlontar tanpa implementasi. Akhirnya, pemerintah mengalami pergeseran fungsi, dari yang awalnya mengurusi rakyat menjadi pabrik kata-kata.

Di lain pihak, politisi sibuk mencari celah kekuasaan. DPR yang sejatinya tempat memperjuangkan aspirasi rakyat malah menjadi arena pertarungan politik, gulat kekuasaan. Bak arena tinju untuk mempertontonkan siapa yang lebih baik. Tidak mengherankan jika setiap masalah yang dianggap populis di mata rakyat selalu di buatkan panja, pansus, atau apa pun istilahnya, kemudian di siarkan dimedia secara massif. Akhirnya, rakyat hanya akrab dengan wajah politisi tanpa tahu apa yang mereka telah lakukan untuk bangsa, kalau pun ada. Sibuk berdebat kiri kanan, menuding si A dan si B. Di saat rakyat pusing memikirkan bagaimana mereka bisa makan hari ini, para politisi malah sibuk berdebat. Jadinya, saya bisa mafhum sekiranya seseorang ditanya mengenai tugas anggota DPR; berdebat.

Verbalisme
Paulo Freire mengakui, perubahan selalu dimulai dari kata-kata. Akan tetapi, kata yang baik dan efektif menurutnya haruslah mengandung dua dimensi, yaitu refleksi (reflection) dan aksi (action). Jika kata hanya bersisi refleksi, pengertian, pemahaman saja, jika penguasaan kata hanya terletak pada sisi ini saja akan menghasilkan verbalisme. menguasai kata secara kognitif (verbalis). Lebih populer dengan sebutan NATO atau "no action, talk only". Tetapi sebaliknya, jika kata hanya berisi aksi atau tindakan, maka kata yang demikian hanya akan menghasilkan aktivisme, yaitu aktivitas tanpa perenungan dan kedalaman makna.Karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep praxis sebagai gabungan dimensi refleksi dan aksi dalam kata. Praxis inilah yang penting diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu pendidikan kata-kata yang menyatu dengan tindakan nyata.

Kekhawatiran saya mengerucut pada pembentukan karakter bangsa. Cukup beralasan, saya kira. Sedikit banyak pengalaman berperan sentral membentuk watak dan karakter bangsa. Perdebatan serta pencitraan yang mengedepankan aspek kekuasaan tanpa disertai wujud nyata dalam pembangunan akan menggiring bangsa ke budaya verbalisme. Bagaimana pun, elit penguasa tetap mempunyai pengaruh ke rakyat banyak. Jika pun demikian seterusnya, tontonan verbalis lambat laun menjadi pengalaman yang ikut menentukan karakter bangsa.

Hemat penulis, membangun karakter tidak cukup dengan verbalisme seperti yang sering dipamerkan elit penguasa. Terjebak pada verbalisme akan menumbuhkan budaya malas, debat kusir. Seharusnya, mereka sebagai suara representatif rakyat mencontohkan budaya  positif dengan belajar memahami demokrasi sebagai alat untuk mensejahterahkan rakyat. Harapan besar berada di pundak mereka, semoga saja mereka sadar.