30 September 2011

Mencintai Pekerjaan ala Confucius

Confucius, seorang filsuf kenamaan China pernah berkata, "Cintailah pekerjaanmu, maka kau akan hidup seolah tidak bekerja". Sungguh nasihat yang teramat bijak. Seolah pekerjaan dijadikan sebagai sarana menikmati hidup. Kiranya kita bisa mengambil makna bahwa pekerjaan yang berat sekali pun akan terasa ringan jika kita enjoy menjalaninya. Sepertinya nasihat inilah yang menginspirasi bangsa-bangsa besar seperti Jepang, China, dan Korea sehingga mereka bisa sesukses sekarang ini.

Tidak bisa dipungkiri, terkadang kita kita mengeluh dengan beban pekerjaan yang kian berat. Kalau dipikir, memang wajar kiranya kita mengeluh karena tumpukan pekerjaan. Hanya saja kita perlu merenungkan kembali apakah dengan mengeluh pekerjaan kita akan selesai saat itu juga. Sayangnya tidak! Malah sebaliknya, beban pekerjaan akan semakin bertambah dan semakin menyesakkan beban psikis kita. Nah, persoalannya kemudian, bagaimana kalau pekerjaan kita memang berat? Salahkah kalau kita mengeluh? Sebenarnya bisa saja, namun harus dalam proporsi yang tepat karena terlalu banyak mengeluh malah akan menurunkan produktivitas kita dalam bekerja.

Tidak jarang saya temui temui orang yang mengeluhkan pekerjaannya. Alasannya macam-macam. Bisa karena persoalan gaji, jam kerja terlalu banyak, sampai masalah pimpinan perusahaan tempat ia bekerja. Saya paling sedih ketika seorang teman mengeluhkan pekerjaannya karena alasan tidak menikmati hidupnya. Waktu yang tersita selama bekerja terlalu banyak sehingga dia merasa hampa menjalani hidup. Yah, dia merasa hidupnya telah ditukar dengan pekerjaan. Waktu yang tersisa tinggal sedikit, sehingga tidak sempat menikmati waktu luang. Bahasa kasarnya, tidak menikmati hidup karena pekerjaan.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengundurkan diri dari tempat kerja. Alasannya kurang lebih sama dengan di masalah di atas, tiidak menikmati hidup karena terlalu banyak waktu yang tersita. Saya tidak memungkiri bahwa saya butuh uang, terutama untuk melanjutkan kuliah. Namun, pilihan mundur akhirnya saya pilih. Tapi sebenarnya alasan utama saya mundur adalah tidak menikmati pekerjaan. Berat rasanya setiap kali saya berangkat ke tempat kerja. Saya merasa "tidak" hidup di sana.

Di tempat lain, saya juga bekerja. Sudah 2 tahun lamanya, sampai sekarang. Awalnya memang saya masuk di tempat itu dengan satu tujuan: Uang! Realistis saja, saya butuh uang. Persoalan saya suka atau tidak, itu urusan belakang. Malah saya cuek saja pada pimpinan lembaga tersebut ketika dia mengatakan, "mengajar adalah pengabdian, bukan karena uang" (kebetulan lembaga tersebut adalah bimbingan belajar). Dalam perjalanannya, uang (gaji) yang saya dapatkan sedikit, tapi entah kenapa saya tidak berpikir untuk meninggalkannya. Akhirnya saya sadar bahwa bekerja tidak hanya sekedar uang, tetapi persoalan kenyamanan jauh lebih penting. Percuma kan kita bekerja sedangkan yang kita rasakan adalah neraka.

Mungkin karena saya jatuh cinta, terlanjur nyaman dengan pekerjaan saya, makanya saya tetap enjoy dengan profesi saya sebagai pengajar. Setiap kali beban kuliah menumpuk di kepala, semuanya terasa lepas dan jauh lebih ringan ketika mendengar candaaan, kekonyolan, dan keluguan para siswa yang saya ajar. Selalu saja ada hal unik yang mereka lakukan. Intinya, saya mencintai apa yang saya lakukan dan itulah yang membuat saya tetap nyaman.

29 September 2011

Hidup Terlalu Ironis untuk Dijalani dengan Pesimis

Setiap orang pasti mempunyai cara pandang tersendiri dalam memaknai kehidupan. Cara pandang saya sangat mungkin berbeda dengan orang lain, begitu juga sebaliknya. Tidak menjadi masalah kalau berbeda dan memang begitulah seharusnya. Jadi masalah ketika kita tidak mampu menangkap makna kehidupan kita sendiri. Boleh jadi perbedaan itu muncul karena rentangan waktu kita diisi pengalaman yang berbeda. Jadi, perbedaan muncul karena kita menangkap makna kehidupan dari sisi yang berbeda dengan orang lain.

Kalau saya ditanya, bagaimana anda memaknai hidup? Sederhana saja, hidup adalah serangkaian proses, pencapaian, dan cita-cita. Meskipun, hidup bukan persoalan sederhana untuk dijalani. Perjalanan hidup seperti gerbong kereta api yang menyusuri rel, langkah demi langkah, sampai jauh dan sampailah kita pada stasiun, kematian.Gambarannya memang tidak sesederhana itu, tetpi menurut saya gambaran tersebut cukup sempurna sebagai analogi kehidupan.

Coba kita ingat kembali ketika menginjak usia sekolah. Kita berjuang sampai menamatkan sekolah dasar. Satu rel terlewati. Kemudian kita memasuki dunia remaja sampai dewasa. Coba perhatikan, dalam setiap fase  kehidupan, kita selalu merencanakan langkah selanjutnya. Setelah rencana tercapai, kita merencanakan lagi target selanjutnya. Begitu seterusnya sampai usia dewasa, paruh baya, usia senja hingga menemui ajal.

Lantas jika demikian adanya, kapan kita benar-benar "menikmati" hidup? Jika hidup diisi dengan target, cita-cita, harapan, artinya kita hidup hanya untuk mengejar setiap apa yang kita rencanakan. Intinya, kita tidak menikmati kehidupan. Sekali lagi, hidup kita hanya diisi dengan rutinitas tiada henti. Kemudian kita mati dengan bungkusan kain kafan, hanya itu! 

Hidup terlalu ironis untuk dijalani dengan pesimis. Menyalahkannya pun adalah perbuatan yang sia-sia, tidak perlu! Nikmatilah setiap alur dan proses kehidupan. Waktu tidak akan kembali, sekali pun ditangisi. life must go on! Saya pikir, tidak ada cara lain kecuali menikmati setiap proses kehidupan. Setiap target adalah keharusan, karena memang hidup adalah pencapaian. Namun, yang tertpenting adalah menikmati setiap perjalanan meraih target atau capaian.

Intinya adalah nikmati setiap proses kehidupan. Optimis melihat setiap jejak langkah. Begitu sia-sianya ketika hidup diisi dengan keluhan, tidak ada gunanya! Nikmatilah setiap hembusan napas anda. Kejar apa yang menjadi harapan anda  dan jangan lupa, nikmati setiap prosesnya.

Entahlah jika anda punya pandangan yang berbeda. Apa pun pendapat anda, maka itulah yang benar, setidaknya menurut anda pribadi. Toh, mustahil saya bisa menangkap setiap makna kehidupan. Saya hanya memegang sedikit serpihan gelas kehidupan, boleh jadi andalah yang memegang pecahannya yang lain.. Wallahu a'lam bishawab

23 September 2011

Makassar, Kota Daeng yang Tetap Memikat

Saya tidak ingat kapan terakhir kali berkeliling menyusuri jalan di kota Makassar. Berekeliling menikmati jalanan yang sesak di malam hari. Melihat kendaraan yang berjejer menguasai setiap sudut jalan. Sebenarnya saya tinggal di Makassar. Namun, aktivitas banyak saya habiskan di kampus sehingga tidak punya banyak kesempatan menikmati hiruk pikuk kota, terutama di malam hari.

Coto Makasar (source:casavina.com)
Alhamdulillah, malam ini saya punya kesempatan untuk jalan menyusuri sudut kota. Bermodalkan motor butut yang saya punya. Berkeliling sendirian sambil menyempatkan diri menikmati makanan khas Makassar, coto. Saya memutuskan melewati jalan Veteran kemudian belok di perempatan jalan menuju jalan Ratulangi. Di simpang jalan ratulangi, saya mengarahkan kendaraan ke jalan Kakatua. Setiba di ujung jalan, aroma tajam khas coto Gagak memenuhi indra penciuman. Saya memarkir motor kemudian memesan satu porsi coto. Akh, rasanya begitu nikmat. Sepadan dengan harga yang harus saya bayarkan.

Keluar dengan perut kenyang, saya melanjutkan perjalanan menyusuri jalan Penghibur. Sengaja saya pelankan kendaraan sambil mengamati bibir pantai Losari. Cukup mengagumkan mengamati Losari di malam hari. Temaran lampu menghiasi trotoar jalan. Berjejer menambah semarak jalan yang padat. Saya tetap melanjutkan perjalanan. di ujung jalan, saya berputar menuju jalan Ahmad Yani. Berjalan lurus melewati Makassar Trade Center (MTC) yang super sibuk, saya sampai di Jalan Bulusaraung.

Waktu menunjukkan 10.00pm, saya singgah di salah satu warkop di sudut jalan Urip Sumoharjo. Lelah dengan perjalanan yang cukup panjang lepas sudah setelah menyeruput kopi susu. Nikmat sekali. Perjalanan ini ingin saya tutup dengan sebuah catatan kecil. Catatan yang bisa menggambarkan sedikit suasana yang saya rasakan. Makassar memang sudah jauh berubah. Namun, perubahan itu masihlah menyisakan keindahan dan ciri khas kota Daeng ini.

Akhirnya, saya harus melanjutkan perjalanan menuju peristirahatan di Tamalanrea. Tempat saya menikmati banyak keajaiban hidup. Kawasan pendidikan yang tetap hidup dipenuhi hiruk pikuk mahasiswa. Saya tahu, perjalanan malam ini tidaklah begitu spesial bagi orang lain, mungkin. Tapi saya cukup terhibur. Setidaknya, kepenatan selama sepekan terbayar sudah.

Makassar, kota Daeng yang tetap saja memikat mata, menghibur hati. Terima kasih...!

21 September 2011

Belajar dari Negara Pembelajar

Saya percaya bahwa tidak ada bangsa besar yang lahir dengan sendirinya, tanpa sebab. Selalu ada faktor X yang mengiringi perjalanan mereka. Untuk membuktikannya, kita bisa menoleh torehan sejarah yang mereka bangun. Apa saja yang mereka lakukan sampai meraih capaian menakjubkan yang bisa menginspirasi bagsa lainnya. Saya pikir, tidak ada yang benar-benar ajaib, semuanya adalah konsekuensi logis dari apa yang mereka perbuat.

Sebut saja, Inggris, Amerika, Jepang, bahkan China. Mereka adalah sekian dari negara-negara yang mampu menorehkan serta mencetak peradaban besar. Keberhasilannya berperan sentral dalam mempengaruhi arah peradaban. Boleh dibilang, mereka mendikte sejarah. Bagaimana tidak, Amerika dengan keunggulan militer berhasil menjadi polisi dunia. Begitu pula Jepang dengan kemampuannya mencetak barang berteknologi tinggi, murah, dan berkualitas. Inggris, China, serta negara maju lainnya juga demikian.

Seperti saya katakan sebelumnya, mereka tidak lahir dengan sendirinya. Berdiri sebagai bangsa kemudian tiba-tiba unggul, dan maju di segala bidang. Tidak demikian. 8 abad yang lalu, Eropa tidak ada apa-apanya dibanding peradaban lain, terutama Islam. Jangan sebut Amerika, Jepang, bahkan China, mereka tidak ada apa-apanya. Kebangkitan Eropa lahir setelah renaissance menguasainya, abad kegelapan hancur lebur. Disusul ditemukannya alat dan teknologi canggih yang berhasil mengubah nasib mereka, menguasai dunia.

Juga Amerika setelah berhasil melepaskan diri dari kungkungan Inggris melalui pertempuran heroik George Washington dan koloninya. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Amerika yang dulunya tempat pembuangan, kini menjadi kekuatan terbesar dunia. Lain cerita dengan Jepang dan beberapa negara serumpun, perjuangannya lebih heroik lagi. Bom atom yang merata-tanah-kan Hiroshima dan Nagasaki tidak meruntuhkan superioritas negara matahari tersebut. Malah, mereka hanya butuh waktu sekitar 30 tahun untuk menjadi raja, mengungguli Amerika. Kebangkita Jepang diikuti tetangganya, Korea dan China. Nilai  ajaran Confucius tertanam kuat di benak mereka. Memberi semangat kebangkitan luar biasa.

Kalau mau sedikit jeli, sebenarnya bisa ditarik benang merah yang menghubungkan negara-negara maju tersebut. Selain faktor internal (budaya) masing-masing. Apa rahasia sukses mereka? Menjadi pembelajar yang cepat. Ketika penguasa abad kegelapan Eropa terkagum-kagum dengan kemajuan peradaban Islam, seketika mereka menjadi pembelajar. Transfer ilmu marak terjadi sampai pengetahuannya melebihi sang guru, Peradaban Islam. Amerika yang tertinggal tidak kalah cepat belajarnya. Banyak ilmuwan lahir yang nantinya berpengaruh besar dalam memajukan Amerika.

Paling ajaib dari semua itu adalah Jepang. Mungkin banyak yang menyangka bahwa itu merupakan keajaiban. Saya tidak percaya! Keajaiban hanya untuk orang tolol yang tidak memahami titik persoalan. Jepang, pasca restorasi Meiji menjadi negara pembelajar tercepat. Saking besarnya minat belajar, mereka mendatangkan guru atau ahli yang gajinya lebih tinggi dari kaisar mereka! Pemimpin tertinggi Jepang. Bayangkan! Usai PD II, otomatis Jepang lumpuh total. Siapa yang menyangka keunggulan teknologi dikuasai oleh Jepang 30 tahun kemudian. Amerika sendiri, jelas-jelas sebagai pemenang PD II, terkaget-kaget. Tapi kenyataan telah berbicara, sejumlah merk dagang asal Jepang merajai duni. Sebut saja Sony, Toyota, Honda, dan merk-merk lainnya. Sekali lagi, ini bukan keajaiban yang tumpah dari langit. Melainkan, atas usaha, kegigihan, kerja keras, niat belajar yang dimiliki rakyat Jepang.

Tambahan pula, saat ini rakyat Jepang adalah pembaca buku terbanyak di dunia. Rata-rata mereka menghabiskan 40 buku dalam setahun. Bandingkan dengan negara-negara Eropa yang hanya menghabiskan sekitar 20 buku . Tidak usah sebut Indonesia, tidak bisa dituliskan, malu! Anda tentu mengerti maksud saya.  

Yah, mereka, yang disebut di atas, adalah negara-negara pembelajar. Mereka sadar bahwa kekuatan terbesar adalah pengetahuan. Tanpanya, kita hanya bisa jadi pengekor, penurut, dan terjajah. Mungkin, penggambarannya terlalu dramatis, tapi demikianlah kenyataannya. Sampai di sini, anda pasti tahu faktor X yang saya maksud.
Jika melihat orang besar, tirulah apa yang dia lakukan. Confucius
Banyaklah belajar, karena dalam pengetahuan selalu ada jalan...

Wallahu a'lam

19 September 2011

Still Enjoying My Life

Saya perhatikan di beberapa postingan terakhir, kok makin ngelantur isi blog ini. Saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Emang sih akhir-akhir ini saya stres berat. Bagaimana tidak, urusan ini, soal itu, kebanyakan tertimbun dalam satu kata: MASALAH. Benar-benar tidak ada yang beres. Sampai-sampai berat badan saya turun karenanya. Belum lagi masalah blog ini, seperti yang saya ceritakan kemarin. Untungnya tidak ada Baygon cair dekat sini, kalau ada, pasti saya sudah tenggak sedari tadi.

Sehabis puasa kemarin saya ketemu mantan cewek (yah, dia jadi homo sekarang). Bukan, maksud saya mantan pacar. 3 hari setelah lebaran, saya berkunjung ke rumahnya. Mencoba membangun silaturahmi kembali yang pernah terputus. Niatnya sih cuma mau berkunjung sampai saya memikirkan niat yang lain. Kenpa? Ternyata dia tambah manis dan sayang untuk dilewatkan (emangnya dia acara TV). Ampun deh, saya meleleh seketika. Untungnya saya bawa banyak rokok, setidaknya bisa mempertahankan "kelelakian" saya. Akhirnya saya memutuskan untuk mengubah haluan. Minta balikan. Pilihan yang paling saya benci. Tapi apa boleh buat, iman saya terlalu lemah untuk menahan diri.

Setelahnya, kami terus berkomunikasi. Saya pikir ini kesempatan yang sangat baik. Lagi pula, saya punya firasat yang baik dalam urusan yang satu ini. Akhirnya, niat balikan saya utarakan. Oh no, dia minta diberi waktu untuk berpikir. Perasaan saya terluntah jadinya, tidak tahu mau ditaruh dimana. Tapi sudahlah, masalah dia mau jawab apa, terserah dia. Toh, kewajiban sebagai laki-laki (Indonesia) sudah saya utarakan.

Saya masih di sini, dan ingin terus melanjutkan..
Kalau ada yang mengira saya stres karena "digantung" (yah, saya sudah dikubur 2 hari lalu). Tidak! Urusan seperti itu tidak pernah saya pusingkan. Masih ada yang lebih parah. Begini ceritanya, ketika itu saya jalan keluar sama cewek (pacar). Setelah keliling sana-sini sampai uang saya ludes, kami pulang. Tiba di depan rumahnya, dia minta saya turun dari motor. Saya turuti permintaannya dan bertanya "kenapaki? Dia diam saja. Setelah merenung tidak jelas selama beberapa menit, dia bicara juga akhirnya. Entah, setan apa yang merasukinya, dia langsung bilang, "kita putus". Belum sempat saya bertanya alasannya, dia sudah kabur menelinap lewat pagar rumahnya. Saya bengong tidak tahu harus gimana. 

Motor saya melaju kencang setidaknya sampai di Taman Makam Pahlawan(TMP). Tepat di depan SPBU, beberapa meter jaraknya dari TMP, mesin motor saya matol alias mati total. Setelah mengecek, mampus...! Bensinnya habis. Yang benar saja, sudah jam satu pagi bung, tidak ada lagi penjual bensin yang buka. Padahal jarak rumah masih beberapa kilometer lagi.

Penderitaan saya tidak sampai disitu. Bencong yang tiap malam mangkal dekat TMP semakin mendekat. Mungkin mereka pikir saya adalah lelaki hidung belang pelanggan Nusantara (lokalisasi PSK). Karena tidak punya banyak uang, makanya singgah untuk melampiaskan libido di samping batu nisan dengan bencong. Benar saja, salah satu dari mereka  menawarkan diri, "20 ribu aja mas". Padahal ketika itu saya mau berteriak, "hey, kita ini satu spesies, jadi jangan ganggu eikke". Karena takut dikeroyok, apalagi otot mereka luar biasa besar dan sangat kekar, maka saya memutuskan untuk kabur secepatnya.

Sampai di kostan, keringat saya bercucuran ditambah perut keroncongan. Belum lagi napas yang tersengal, tidak teratur. Malam yang menyedihkan. Bayangkan, saya menghabiskan uang jajan selama sepekan hanya dalam satu malam, diputuskan, dikejar bencong pula. Tapi karena kecapean, saya akhirnya tertidur pulas. Esoknya saya puasa sampai seminggu berikutnya.

Saya tidak menyesal karena diputusin, masih banyak kok cewek jomblo yang berkeliaran di sana sini. Saya hanya menyesali betapa tololnya saya karena mau menghabiskan uang demi cewek tidak tahu diri. Sampai disini saya berpikir, kenapa aib ini saya tuliskan di blog.

Sudah saya katakan, saya pantang stres hanya karena urusan cewek. Tidak! Saya stres kalau tidak punya uang. Usus saya sudah protes, unjuk rasa dan sebagainya gara-gara disuapi indomie selama 3 hari. Itu pun cuma 2 kali sehari. Pesan saya: kalau saya meninggal karena kelaparan atau usus buntu karena indomie, tolong sampaikan ke indofood dan masukkan dalam CERITA INDOMIE. 

Se-tragis apapun nasib saya, tetap tidak ada alasan untuk mengakhirinya. Seribu alasan masih ada kenapa saya harus tetap melanjutkan hidup. Saya yakin, banyak orang yang mencintai saya. Sama halnya dengan saya yang juga mencintai banyak hal dalm hidup ini, mulai dari pekerjaan, teman, keluarga, sampai cewek tetangga kostan. Saya masih enjoy. Makan nggak makan yang penting happy, hehe...

Saya hanya mau menjejalkan kata lagi, lagi, dan lagi...:D


17 September 2011

Membangun Dakwah yang Mencerahkan

Kemarin saya pergi shalat jumat. Rutinitas yang saya  dan umat muslim lainnya lakukan. Saya shalat di mesjid dekat kampus. Awalnya saya mau shalat di mesjid dalam area kampus saja. Berhubung kampus, juga kota Makassar, lagi krisis air, maka saya memutuskan untuk keluar kampus dan mencari mesjid untuk shalat jumat. Jangan tanya, ngapain menulis tentang shalat jumat? Toh, menulis atau tidak saya tetap shalat jumat. Tapi kawan, saya tidak akan menulis bagaimana saya menjalankan shalat jumat. Apa pentingnya juga. Tidak ada!

Ada hal menarik ketika khatib menyampaikan ceramahnya. Saya mengamati hal ini sudah sekian lama. Sepertinya bukan hanya khutbah, tapi juga ceramah keagamaan lainnya. Boleh dibilang, ini sudah menjadi budaya ceramah di Indonesia. Entahlah bagaimana metode ceramah di negara lain. Soalnya, sekali pun saya belum pernah menginjakkan kaki di negara selain Indonesia.

Hal menarik yang saya maksud adalah ceramah berisi ancaman dan ancaman. Mungkin anda sebagai orang Indonesia sudah maklum karena memang begitulah adanya. Saya tidak bermaksud mengkritik apalagi menyalahkan ulama Indonesia. Hanya saja, menurut hemat penulis, metode ini harus kita tinjau ulang demi mengukuhkan Islam sebagai agama damai, bukannya agama ancaman. Saya khawatir jika ini terus berlangsung malah akan berakibta fatal, bahwa kita beragama karena rasa takut semata. Oh iya, ancaman yang saya maksud berupa pengkafiran, ancaman siksaan api neraka, serta berbagai ancaman lainnya.

Saya pikir, para ulama kita perlu mencoba pendekatan baru dalam dakwah, yaitu dakwah yang santun, mengajarkan etika agama yang aplikatif, serta nilai positif kehidupan. Ancaman perlu dalam proporsi yang tepat. Tidak bisa dipungkiri, salah sau yang melanggengkan agama adalah karena adanya rasa takut.

Hal yang saya perhatikan adalah sikap pesimistis banyak mubaligh. Saya tidak pernah sepakat, dunia hanya sekedar tempat menghabiskan waktu. Saya menilainya tidak sesederhana itu. Setiap detak kehidupan menyimpan ribuan makna. Ada banyak hal yang mesti kita lakukan di "tempat persinggahan" ini. Pesimis melihat kehidupan dunia akan menjerumuskan kita pada kemalasan. Diduga keras, salah satu kemunduran umat muslim akibat pesimis menjalani hidup. Mereka terlalu banyak terpaku pada kehidupan akhirat dan hanya menyimpan sedikit kepedulian pada kehidupan duniawi.

Bagaimana pun, metode dakwah yang tepat, sedikit banyak akan mempengaruhi mental umat. Makanya, perlu dilakukan metode tepat supaya dakwah, selain tidak monoton juga membangkitkan semangat serta mental umat. Saya juga percaya, tidak ada pemisahan antara kehidupan akhirat dan kehidupan duniawi. Keduanya jika dilakukan dengan mengharap ridha Allah, niscaya akan dicatat sebagai pahala. Jadi kenapa tidak, opsi ceramah yang berisi nilai-nilai tentang kehidupan diterapkan.

Sekali lagi, tidak ada sedikit pun maksud memojokkan para ulama kita. Tentunya harapan kita semua sama, yaitu memancangkan panji-panji Islam ditengah-tengah masyarakat. Kita juga berharap, ceramah agama lebih mencerahkan lagi ke depannya.

Wallahu a'lam bishawab

Jangan Sekali-sekali Mengganti Blog Address

Beberapa hari yang lalu saya menggati blog address. Di postingan terakhir saya membahasnya. Kemarin saya berkonsultasi (curhat) dengan seorang teman, mengenai hal tersebut. Dia kaget, kok saya tega menggantinya, padahal itu sangat beresiko. Kepala saya langsung pening. Bagaimana tidak, menurut teman tersebut,  butuh waktu lama untuk memperbaiki serta meningkatkan traffic rank ketika alamatnya diganti.

Karena penasaran, beberapa menit lalu saya menelusuri postingan blog ini lewat search engine, google. Taukah kawan, hasilnya sangat parah, betul-betul parah!  Coba lihat gambar dibawah ini.

Sigmund Freud dan Hasrat Kebinatangan Manusia adalah salah satu tulisan yang pernah saya posting. Hasil pencarian melalui google, ternyata masih dideteksi di blog address lama, kasimbenzema.blogspot.com. Bahkan, setelah saya membuka page selanjutnya, tidak ada tanda-tanda artikel tersebut muncul dengan blog adress yang baru. Saya juga mencoba beberapa postinga lain. Hasilnya sama! Tragis betul nasib blog ini.

Masih ada yang lebih parah: penurunan traffic rank.  Biasanya, setiap hari, blog saya dikunjungi setidaknya 100 kali (tanpa blogwalking). Sekarang, statistik pengunjung terjun bebas tanpa hambatan, 10 viewer bung! Parah banget kan. Lama-lama saya yang terjun bebas lantaran stres berat. Fiuhh...!!!

Bagaimana pun tidak ada yang perlu disesali karena akan lebih menyakitkan lagi. Setidaknya, saya mendapat satu pelajaran penting: JANGAN SEKALI-SEKALI MENGGANTI BLOG ADDRESS. 

Tuhan, ampuni dosa hambamu ini...!!!

16 September 2011

Daulat Kata; Metamorfosis Metamorfosa

Entah kenapa malam ini saya menggila. Sepertinya saya telah diracuni dongeng lama, bahwa malam jumat itu angker. Yang jelas, malam ini, di ruangan ini, hanya saya yang terjaga. Yang lain sudah tertidur pulas sedari tadi. Jadi merinding.

Untuk pertama kalinya, sejak tahun 2008, saya menggati blog adress. Padahal dari dulu, saya mati-matian membela diri,  bahwa tidak ada yang salah dengan kasimbenzema.blogspot.com. Melambangkan nama serta pemain idola saya, kasim (nama saya) dan benzema (nama belakang Karim Benzema). Ketika itu, kalau tidak salah ingat, saya memilih blog adress tersebut karena dua alasan:

  • Kata orang, saya mirip Karim Benzema. Jadi tidak apa-apa kalau nama saya sedikit dipelesetkan dengan meminjam nama belakangnya. Saya cukup bangga sampai disini.
  • Benzema adalah nama yang populer. Meminjam nama tersebut, saya pikir sangat menguntungkan serta menjanjikan prospek yang cerah bagi blog ini.
Namun, tidak semulus yang saya bayangkan. Membangun blog, seperti yang sering saya utarakan, dibutuhkan konsistensi, istiqomah dalam bahasa agama. Disinilah letak masalahnya, saya inkonsisten. Meskipun demikian, blog ini tidak layak dikatakan gagal. Setidaknya, walaupun visitornya bisa dihitung jari, saya bisa bersyukur sejauh ini karena toh saya bisa mengisi postingan tanpa ko-pas kiri-kanan.

Setelah mikir panjang, akhirnya saya menyerah. Saya tidak mampu lagi berdebat dengan diri saya sendiri. daulatkata.blospot.com adalah nama terakhir yang saya pilih sebagai penerus kasimbenzema.blogspot.com. Semoga tidak menggemparkan dunia blogger karena peristiwa besar ini. Kita hanya berharap, semuanya baik-baik saja.

Penggantian blog adress sedikit banyak pasti merugikan saya. terutama branding kasimbenzema.blogspot.com sudah dikenal luas (kayak apa saja...hehe).Tapi tidak apa-apa, yang penting saya tetap bisa berekspresi di blog sederhana ini. Kalau pun tidak ada lagi orang yang sudi mengunjunginya, saya pasrah saja (kasian).

Semoga malam jumat ini membawa berkah, amin.


15 September 2011

Hanya Sekali, Cukup Sekali!

Lama juga saya tidak memposting langsung di blogger. Beberapa bulan terakhir, tulisan (catatan pendek) yang saya publikasikan bersal dari notepad yang ada di notebook. Bahkan, saya sampi bingung bagaimana cara menulis di blogger dengan tampilannya barunya (katro yah).

Beberapa pekan terakkhir, saya menjumpai banyak sketsa kehidupan. Semakin membuat saya sadar bahwa hidup tidak sesederhana yang kita bayangkan. Lebih jauh, banyak makna, noumena tesirat yang patut kita renungi. Awalnya memang terlihat biasa saja, akan tetapi setelah diselami, ternyata luar biasa. Entah bagaimana mengungkapkannya lewat deretan kata. Sampai disini saya biasa bingung sendiri (hehe...).

5 Tahun lalu, saya menginjakkan kaki di Fakultas Farmasi UNHAS. Sampai sekarang masih berstatus mahasiswa. Semester 11 sedang berjalan. Yah, saya bangga dengan semester 11! Setiap kali bertemu teman lama, pertanyaannya selalu sama: kapan sarjana? Walaupun jengkel, saya menjawab seadanya, "bentar lagi, nih lagi nyusun skripsi". Jawaban paling sederhana dan tidak membutuhkan pertanyaan lanjutan. kalaupun ditanya lagi, paling cengar-cengir lalu melengos pergi.

Selain jawaban di atas, saya masih punya ribuan jawaban lain. Budaya pergaulan bangsa kita, telat sarjana adalah sebuah kelainan, tidak biasa, aneh. Makanya, saya harus punya banyak alasan bagus supaya semuanya bisa logis. Tuntutan hidup supaya saya masih dianggap "normal".  Sengaja saya pelajari baik-baik bagaimana menemukan jawaban yang tepat. Hasilnya, perbedaharaan jawaban atas pertanyaan tersebut meningkat pesat beberapa bulan terakhir.

Setelah merenung selama beberapa tahun (wah, lama juga yah), saya menemukan kesimpulan berdasarkan observasi langsung, bahwa kita harus mencintai bidang ilmu yang digeluti untuk meraih titel sarjana. Sayangnya, saya tidak gampang jatuh cinta. Bukan, bukan saya mencari-cari alasan, tapi inilah kenyataannya. IPK saya lumayan bagus, tentunya alasan "bodoh" tidak bisa digunakan dalam hal ini. Walaupun ada beberaa variabel lain yang berpengaruh, tetapi saya pikir alasan diatas yang paling menonjol.

Mengerjakan sesuatu yang tidak anda sukai jauh lebih berat, walaupun sebenarnya perkerjaan tersebut ringan. Bukan karena kita tidak bisa, tetapi dorongan semangat sangat penting untuk membangkitkan energi. Nah, semangat inilah yang muncul dari rasa suka maupun senang terhadap sesuatu.Sama halnya ketika saya menjalani rutinitas akademik, saya merasa ada sesuatu yang hilang, ada yang tidak sesuai idealitas. Saya tidak tahu bentuknya, yang jelas ada. "Saya mau mencari sesuau yang lain", kata-kata tersebut sepertinya lebih tepat. lagi-lagi ini bukan alasan yang dibuat-buat, tapi inilah kenyataannya.

Sampailah saya di tahun ke-5 dan saya masih belum mencintai farmasi. Akan tetapi saya sadar pada sebuah kenyataan, "saya berada di farmasi dan tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik dari ini". Tidak ada gunanya mengeluh, lebih baik belajar mencintai farmasi ketimbang menyalahkannya. Saya bukan pasrah, tidak. Seperti yang saya katakan sebelumnya, hidup tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ada banyak kemungkinan, rahasia, serta makna yang bisa saja di kemudian hari baru kita sadari.

Lagi pula tidak mungkin saya memutar waktu. Pekerjaan yang bahkan tuhan tidak mampu melakukannya. Saya pikir, membuat lebih banyak kemungkinan adalah jalan terbaik saat ini. Untuk mewujudkan hal tersebut, saya butuh sesuatu: SARJANA.

Saya percaya bahwa jejak kehidupan hanya berlalu sekali. Hari ini tetap saja berbeda dengan kemarin, besok, tahun lalu. Tidak ada yang sama. Fase hidup sekarang ini, akan saya jalani sekali saja. 10 tahun ke depan (mudah-mudahan saya masih hidup), saya akan bercerita kisah lain. Tidak ada niat lain kecuali mengabadikan apa yang saya rasakan dan alami sekarang. Hanya itu.

*Farmasi Unhas, 15 Sepetember 2011, 11.41am

8 September 2011

Karena Tuhan Bukan Pesulap

Seperti sering dilontarkan, takwa adalah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Para ulama sepakat dengan pengertian ini. Hanya saja pengertian ini tidak dijabarkan secara mendalam. Memahami takwa sebatas pengertian itu tidak akan membuat kita lebih baik, malah berpotensi menimbulkan kedangkalan pemahaman dan kegersangan makna. 

Allah telah menjanjikan kesejahteraan bagi hamba yang menjalankan perintah-Nya. Jika kita menelusurinya lebih jauh, secara logis kaum muslim adalah orang-orang yang paling berhak meraih hal tersebut. Kesejahteraan yang dimaksud tidak hanya di kehidupan setelah ini, tetapi juga sejahtera dalam kehidupan dunia. 

Bagimana dengan realitas kekinian? Nyatanya, seperti yang kita saksikan umat muslim berada titik kronis. Secara politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan umat muslim bedara di bawah tekanan barat (non-muslim, red). Bukankah ini bertentangan dengan janji Tuhan. Padahal dalam kacamata orang awam, umat muslim-lah yang paling bertakwa dibandingkan umat lain. Sampai disini kita perlu menafsirkan kembali makna takwa. Hemat penulis, memahami takwa secara mendalam sangat urgen perannya dalam membawa umat Muslim ke kancah terdepan peradaban dunia. 

Perintah Tuhan khususnya untuk manusia kalau kita menengok Al-Quran dibagi atas dua. Ada perintah yang berkaitan dengan syariat (agama) dan ada pula perintah yang berkaitan dengan hukum kemasyarakatan (sunnatullah).

Allah mahaadil. Menjalankan perintah-Nya, pasti ada ganjarannya pula. Tuhan tidak memilih, tapi memilah. Setiap yang kita kerjakan pasti ada balasan, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Perintah agama seperti, shalat, zakat, haji, puasa, dan lain-lain akan dibalas di akhirat nanti. Sekali pun Tuhan membalasnya di dunia, itu bukan balasan sesungguhnya.

Berbeda dengan perintah berkaitan sunnatullah dimana sanksi dan ganjarannya dapat dirasakan d dunia ini. Hukum alam, konsekuensi logis, dan hukum kemasyarakatan termasuk jenis hukum ini. Siapa yang rajin belajar, bekerja keras, memeras keringat, maka akan diberi ganjaran berupa kesuksesan, kaya, dan berilmu. Begitu juga mereka yang malas bekerja, hidup kotor, maka akan diberi balasan berupak kemiskinan dan penyakit.

Menurut Muthahhari, keadilan Tuhan adalah soal kepantasan. Seperti yang saya utarakan di atas, Tuhan tidak memilih. Siapa saja yang berusaha maksimal di dunia ini, akan diberi balasan berupa keunggulan. Yakin saja Tuhan tidak akan menyulap kita menjadi unggul di segala bidang tanpa disertai usaha maksimal, termasuk doa tentunya. Jadi, ketika umat lain sukses dan lebih maju daripada umat muslim, jangan menyalahkan Tuhan karena mereka memang pantas mendapatkannya. 

Pula, jika ada yang bertanya: kenapa rezeki tak kunjung datang, padahal siang malam kita beribadah pada Tuhan? Ini keliru karena salah menempatkan ganjaran Tuhan. Ganjaran perintah agama didapatkan di akhirat nanti. Jangan pula keberatan, mengapa Tuhan tidak menyiksa umat yang ingkar. Karena tempatnya bukan di dunia, tapi di akhirat kelak.

Akhirnya kita harus sadar bahwa menjalankan perintah Tuhan sebagai implementasi takwa tidak sekedar syariat saja, namun termasuk juga sunnatullah yang berlaku di dunia ini. Sepakat atau tidak, sepertinya umat muslim saat ini baru menjalankan sebagian takwa, sedangkan sebagian dijalankan oleh umat yang lain. Saya pikir, ini adalah jawaban sempurna mengapa umat muslim jauh tertinggal.

Wallahu a’lam bishawab