24 November 2011

Postingan yang Banyak Fotonya #part 2

Inilah hasil penjelajahan yang berhasil saya abadikan. Tanjung Bira, sekali lagi, berhasil membuat mata saya takjub.

 
Paradise of Bira

Potret dari sisi lain

 [lagi] potret dari sisi lain

Perahu yang bercengkrama

Menantang laut

Mengintip surga

 Bercakap dengan alam

 Inilah alasan kenapa saya memotretnya. Indah bukan?

 Optmisme di balik hamparan pantai

 Teronggok. Tersisih. Sendirian.

Pantai + paha = segar benar

Dari sudut yang lain

 Dari sudut yang lain [lagi]

Dari sudut yang lain [lagi dan lagi]

Paha atau pasir putih. Saya pilih yang pertama. kamu?

22 November 2011

Ini Soal Kepantasan, Kawan!


Tidak sekedar pilihan, tetapi lebih pada soal kepantasan. Itulah hidup. Soal kepantasan.
Siapapun yang berniat untuk lebih baik, maka dia harus membuat dirinya pantas.
Tidak ada jalan yang lebih baik dari itu.

Soekarno dihargai sebagai tokoh sentral proklamator karena hal itu memang layak.
B.J Habibie diakui sebagai ahli konstruksi pesawat terbang yang handal
karena dia jago dan pantas disebut demikian.
Jusuf Kallla diacungi jempol sebagai negoisator ulung di medan konflik
disebabkan kemampuannya berunding untuk menyelesaikan
konflik dan sudah seyogyanya beliau diacung jempol.
Sampai saya berkesimpulan, kunci utama hidup adalah soal kepantasan.

Ada juga yang memahami, dibutuhkan keberuntungan di samping kepantasan.
Betul. Tapi, kita tidak akan lebih baik hanya dengan mengandalkan keberuntungan.
Keberuntungan hanyalah faktor penyerta, faktor turunan.
Dengan kata lain, keberuntungan tidak muncul dengan sendirinya.

Keberuntungan muncul karena kesempatan berbaur persiapan matang.
Dan apakah persiapan matang itu?
Yaitu membuat diri kita pantas.
Yang paling baik persiapannya, dialah yang paling pantas.
Once again, hidup adalah soal kepantasan.
Soal kepantasan, kawan!

16 November 2011

Malam Ketika Itu

Ingin kutelanjangi malam
asaku membara menatap cakrawala
Dalam hati yang bungkam
ingin kucumbui kata

Ingin kugerayangi malam yang tak berujung ini
biarlah layu dalam peluk dan cumbuan
Menggores mimpi
menerabas harapan

Ingin kurangkul sempitnya kata
menggegamnya dalam naungan temaran
Oh, tak semuda berbicara
sedang aku masih di tepian

Kutatap dia dengan sinis
gadis kecil di sudut tugu
Sangat miris
menegurnya saja aku tak mampu

Fatamorgana bersiul
melirikku begitu jauh
Menyekapku dalam simpul
menghempas di jalanan riuh

Makassar, 15 11 2011

Mahasiswa, Seks, dan Tawuran

Mahasiswa. Sebutan untuk anak muda hebat yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ilmu yang rumitnya tidak ketulungan. Anak muda yang setiap harinya bertatap muka dengan dosen berotak sempurna, bergelar professor. Anak muda yang bertarung dengan textbook tebal. Setebal 3 susun bata merah. Namanya saja anak muda hebat. Mereka bisa beradu pendapat dengan sang professor. Melumat buku tebal kemudian ditelan dan dicernanya mentah-mentah. Hebat betul. 

Tunggu dulu kawan. Masih ada yang belum kuceritakan. Bahkan masih banyak malah. Anak muda punya banyak energi. Begitu juga mahasiswa. Energi yang mereka miliki lebih besar dari energi yang tersimpan dalam reaktor nuklir. Sayang, energinya punya dua sisi yang bertolak belakang. Tepatnya, Energi bermata dua, mau digunakan untuk apa pun, tergantung si empunya. Bisa digunakan untuk membedah ilmu pengetahuan sampai akar terdalam. Juga bisa memporak-porandakan apa yang dilaluinya. Pilih yang mana? Sekali lagi, tergantung si empunya.

Hidup sebagai mahasiswa. Dimana libido, birahi anak muda memuncak. Membawa energi besar yang tidak  terpuaskan. Tidak jarang, nafsu birahi yang tinggi dilampiaskan pada sesama mahasiswa. Bermain syahwat. Tengoklah wilayah sekitar kampus yang dihuni banyak mahasiswa. Naudzubillah. Tidak jarang transaksi seks hanya bermodal kata-kata. Janji. Komitmen. Populer disebut pacaran. Sekalipun bapak/ibu kost melarang, transaksi tetap berjalan. Toh, mahasiswa adalah anak muda cerdas yang bisa "menguliahi" siapa saja. Mereka bukan binatang yang berakal mini, mereka manusia cerdas yang bisa mencari jalan dimana saja. Tentunya tidak semua semua mahasiswa melakukan hal demikian. Banyak juga mahasiswa baik-baik. Akan tetapi, tetap saja, mahasiswa dan seks adalah dua sisi koin yang saling bertautan.

Belum lagi soal berkelahi. Tidak, mereka tidak berkelahi. Mereka hanya tawuran. Harap dibedakan antara berkelahi dengan tawuran. Berkelahi adalah single (satu lawan satu), sedangkan tawuran adalah saling melempar dan melibatkan banyak orang. Soal yang satu ini (tawuran red) mahasiswa adalah ikon utama. Sepertinya, energi yang tidak terserap dengan baik di ruang kuliah atau organisasi disalurkan lewat adu kekuatan lengan. Kekuatan melempar batu sejauh dan sebanyak-banyaknya. Di beberapa kampus, tawuran adalah ritual tahunan. Tradisi yang turun temurun dilangsungkan dan menjadi bahan pembicaraan lintas generasi. Yang tawurannya paling seru akan mendapat pujian.

Baru saja saya menyaksikan bagaimana adu otot lewat lemparan batu dipertontonkan mahasiswa. Sebuah universitas di Makassar yang konon terbesar di Indonesia Timur. Dimana mahasiswanya baru saja membuat acara. Acara tawuran. Asyik yah, acara tawuran. Terdengar lebih keren. Tidak kurang dari 2000-an mahasiwa terlibat dalam kejadian tersebut. Gedung dan motor dibakar, bom molotov terbang di sana-sini. Seperti biasa, kejadian tersebut disorot media. "Lihat!Kami semua masuk TV dan besok akan dimuat di koran" kata seorang peserta tawuran. Dia lupa kalau kampusnya sedang menangis. Menangis darah. Nama baik kampus rusak seketika untuk kesekian kalinya hanya karena acara bodoh. 

Entah apa di benak mereka. Kebanggaan? Terlalu naif. Pamer otot lengan? Bukan kampus tempatnya. Balas dendam? Terlalu picik kawan. Jadi apa? Entahlah. Setiap kali saya tanya teman-teman yang ikut tawuran, jawaban mereka enteng saja, "Sudah lama tidak olahraga". Ya ya ya...!

Awalnya saya ragu melihat judul tulisan ini. Mahasiswa, seks, dan tawuran. Bagaimana tidak, status suci mahasiswa disandingkan begitu rendahnya. Disandingkan dengan cap buruk seks ala mahasiwa beserta tradisi tawurannya. "Kesucian "mahasiswa" tercemari saat bersentuhan dengan realitas". Begitu kata seorang kawan. "Tidak ada cara lain, kecuali medudukkan kembali "mahasiwa" di tahtanya sebagai penguasa ilmu, insan cita nan mulia" lanjut kawan saya. Jadi apalagi? Sekarang, tidaklah perlu saya risih dengan judul tersebut. Hitung-hitung bisa jadi pemantik semangat. Dan begitulah harapan saya. Bahwa tugas kita sebagai mahasiswa saat ini adalah mengembalikan status mahasiswa sebagaimana mestinya. Sebagai intelektual yang tahu membedakan benar dan salah, baik dan buruk.


Teruntuk anak muda yang peduli akan kehidupan yang lebih bermartabat. Y A K U S A...

14 November 2011

Bung Karno dan Jusuf Kalla Bicara Sejarah

JAS MERAH. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Idiom yang dipopulerkan Soekarno. Presiden pertama RI. Mengingatkan rakyatnya ketika itu. Iya, jangan melupakan sejarah. Apa yang kita nikmati adalah hasil rangkaian peristiwa masa lalu. Kemerdekaan yang kita capai adalah berkah sejarah. Makanya, jangan sekali-kali melupakannya. Maksud Bung Karno mungkin demikian.

Bung Karno percaya, sejarah adalah bagian vital bangsa. Beliau juga meyakini, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa pada sejarahnya. Dan bangsa yang tidak lupa pada sejarahnya adalah bangsa yang pandai berterima kasih. Berterima kasih pada pahlawannya. Berterima kasih pada pelajaran dan pengalaman pendahulunya. Berterima kasih atas pelajaran yang diberikan orang dahulu. Berterima kasih atas warisan budaya pelaku sejarah di masa lalu.

Memaknai sejarah sebagai kereta waktu yang terus melaju. Yang mengiri napak tilas perjalanan bangsa. Saya pikir kita perlu menempatkannya dalam posisi yang benar. Maksud saya, mengingat sejarah tidaklah cukup. Kita mesti memaknainya dengan benar. Memaknainya sebagai pelajaran, refleksi, dan evaluasi atas peristiwa di masa lampau. Itu saja. Tidak lebih, tidak kurang.

Saya teringat dengan ucapan Jusuf Kalla (JK), ketika menyampaikan sambutannya di UNHAS beberapa waktu yang lalu. "Bukti kemunduran bangsa, ketika rakyatnya sibuk membanggakan sejarahnya". Pesan yang beliau hendak sampaikan, membanggakan sejarah tidak akan membuat kita lebih baik. Malah menjadi bukti nyata bahwa kita berada pada kemunduran nyata.

Sejarah adalah fase dimana pelajaran bisa dipetik untuk hidup yang lebih baik di masa depan. Pesan dua tokoh lintas generasi mungkin agak berbeda dalam memandang sejarah. Namun maksud keduanya jelas. Jangan lupakan sejarah, tetapi jangan pula membanggakannya.

13 November 2011

Postingan yang Banyak Fotonya

Tanjung Bira. Sebuah pantai di ujung selatan Pulau Sulawesi. Berjarak 40 km dari Kota Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemandangannya indah. Pasir putih. Halus. Alternatif tujuan wisata yang menarik. Beberapa jepretan kamera berhasil mengabadikan siluet nan anggun tanjung Bira:

 Dari sudut pantai


Sekumpulan anak muda galau 


Pemandangan di balkon Bira Beach Hotel 


Coba tebak, ini kakinya siapa? 


Saat matahari mulai meninggi 


 Penutup

Source: google.com

10 November 2011

Skripsi#1

Skripsi. Saya mengerjakan skripsi. Sudah dua pekan lamanya. Dan belum ada tanda akan selesai dengan cepat. Entah kapan. Maunya sih secepatnya. Tapi apa lacur, saya terlanjur buntu. Pusing hendak memulai dari mana.

Dosen pembimbing sudah manyun. Bosan menunggu setoran skripsi dari saya. Alih-alih setor skripsi, BAB II-nya saja belum kelar. Kapan sarjana kalau begini. Mungkin nanti. Yang jelas mesti tetap optimis. Tinggal itu modal saya punya. Modal optimis.

Sebenarnya simple saja. Data penelitian ada dan siap diolah. Metode perhitungan juga siap. Pustka juga numpuk. Berpuluh-puluh. Lha...tunggu apa lagi. Nah, ini masalahnya: saya bingung mulai dari mana.

Kok jadi curhat yah, hehe...

Pekan ini wajib selesai. Ini janji kedua selama dua pekan berturut-turut. Semoga bisa ditepati. Optimis. Mesti optimis. Titel sarjana menanti di depan mata. Preeet...haha.

BTP Blok A No 539, 10 November 2011. 11.51pm

Ribut-ribut Tentang Komodo

Polemik seputar vote Pulau Komodo sebagai salah satu finalis 7 keajaiban dunia terus berlanjut. Ribet dan membingungkan. Banyak pihak menyalahkan satu sama lain. Tidak diketahui siapa yang benar atau salah.

Cerita berawal sebulan yang lalu. Ketika Jusuf Kalla (JK) ditunjuk menjadi duta Pulau Komodo untuk mempromosikan pulau tersebut menjadi 7 keajaiban dunia kategori alam. Untuk menang, Pulau Komodo mesti bersaing dengan 27 finalis lain dari seluruh penjuru dunia. Penentuan pemenang ditentukan berdasarkan jumlah dukungan. Bisa dilakukan dengan 3 cara yaitu, vote langsung di situs resmi new7wonders.com, melalui telepon, atau SMS.

Tidak berselang lama, dukungan mengalir deras dari berbagai pihak. Terutama Operator Seluler yang rela memangkas tarif layanan premiumnya menjadi Rp.1/SMS. Cukup dengan mengetik KOMODO lalu kirim ke 9818. tidak kurang dari jutaan SMS dukungan masuk setiap harinya.

Di tengah euforia dukungan terhadap Pulau Komodo, muncullah berita yang menghebohkan. Djoko Susilo, Duta Besar RI untuk Swiss, meragukan kredibilitas N7W sebagai penyelenggara pemilihan. Mulai dari kantor fiktif N7W sampai statusnya yang tidak berada di bawah naungan UNESCO. Sontak, hal tersebut menjadi pemberitaan di berbagai media dan menjadi polemik hingga sekarang.

Pemerintah yang diharapkan menyelesaikan masalah tersebut malah lepas tangan dan tidak mau bertanggungjawab. Ada apa? Terlepas dari pandangan sebjektif, beberapa analisis saya bisa jadi pertimbangan:
  1. Djoko Susilo tidak pernah konfirmasi langsung pihak N7W, jadi tudingannya belum sepenuhnya benar dan tidak boleh dipercaya begiru saja. Djoko Susilo hanya memantau kantor N7W tanpa mengecek langsung kemudian langsung menympulkan bahwa N7W fiktif.
  2. SMS voting ke 9818 yang curigai sebagai bentuk penipuan, saya pikir telalu berlebihan. Nilai Rp.1,- adalah biaya untuk operator seluler. Panitia lokal (Ibu Emmy Hafid dkk) sama sekali tidak mengambil keuntungan dari sana. Oh ya, kalau anda pengguna telkomsel silahkan cek di *116#, ternyata 9818 tidak terdaftar sebagai konten premium, jadi tidak usah khawatir pulsa terpotong.
  3. Tahun 2007 Pemerintah, dalam hal ini Kemenbudpar, gagal meloloskan Borobudur menjadi salah satu 7 keajaiban dunia akibat tarif untuk memberi dukungan saat itu sangat mahal, yaitu Rp.1000,-. Kejadian sama berulang di tahun 2010 dan promosi Pulau Komodo oleh pemerintah gagal total. Belakangan isu setoran fee dijadikan alasan.
  4. Anggaplah SMS yang masuk senilai 100 juta rupiah. Uang tersebut tidak sebanding dengan nilai proyek promosi Pulau Komodo oleh pemerintah. Jadi ada alasan untuk mengurangi proyek promosi. Bukankah semakin banyak proyek, korupsi juga semakin tinggi.
  5. Atau jangan-jangan polemik Pulau Komodo merembes ke isu politik. Alurnya begini: Sekiranya Pulau Komodo berhasil menjadi salah satu keajaiban dunia, otomatis nama JK akan melambung dan ditakutkan mempengaruhi konstalasi 2014. Sudahlah, itu hanya pikiran kotor saya saja...
ingat...!
"Puluhan juta tahun Komodo hidup, mereka tidak pernah meributkan dirinya sendiri, jadi ngapain kita mesti ribut-ribut tentang Komodo" 

5 November 2011

GOES TO SARJANA

November

Adzan subuh berkumandang, membelah rimbunan pohon yang baru saja diguyur hujan lebat. Konon katanya, kala itu pertengahan bulan November 1987, bertepatan dengan hari pertama saya menjejakkan kaki di dunia ini. Seorang bayi berjenis kelamin laki-laki lahir dari rahim ibu saya. Jenis kelamin yang tidak dinantikan, karena sebenarnya kedua orangtua saya berharap anak keduanya berkelamin perempuan. Hiks.

Orang tua saya meyakini satu hal: anak keduanya, saya, lahir pada kamis subuh. Itulah mengapa saya katakan "konon katanya", karena berdasarkan kelender Masehi, tanggal 15 November 1987 jatuh pada hari Minggu. Sudah saya cek berkali-kali dan hasilnya tetap sama, bahwa tanggal tersebut bertepatan pada hari Minggu, bukannya hari Kamis. Sampai saat ini, saya juga meyakini hal yang sama, bahwa saya lahir pada kamis subuh, entah tanggal dan tahun berapa. Juga karena tidak ada bukti lain mengenai tanggal kelahiran tersebut kecuali ingatan kedua orang tua. Itu pula yang menjadi alasan mengapa tidak pernah merayakan ulang tahun di sepanjang saya hidup di dunia ini. 15 November bukan tanggal kelahiran saya!

Di kampung kami, dulu, tanggal lahir adalah persoalan remeh-temeh. Tidak diperuntukkan bagi kami yang tinggal jauh di desa. Tanggal lahir adalah urusan orang pintar yang berpendidikan tinggi. Kalau ditanya umur anak-anak mereka, jawabannya pasti panjang. Kurang lebih jawabannya seperti ini, "Si A lahir di bulan syaban, dua tahun lebih muda dari kakaknya, satu tahun lebih tua dari sepupunya, dan seterusnya". Jadi, ketika salah satu anak mereka melanjutkan pendidikan, dimana tanggal lahir mesti dicantumkan, maka mereka akan meminta guru untuk "menentukan" tanggal lahir anak muridnya sendiri. Saya sendiri baru tahu kalau saya lahir di bulan November ketika duduk di bangku kelas 6 SD. Tahukah kawan, "Bulan November" adalah hasil diskusi antara guru dengan kedua orang tua saya. Ajaib kan!

Sekali waktu saya komplain, mengapa tanggal, bulan, dan tahun lahir tidak sesuai dengan hari ketika saya lahir. Jawaban kedua orang tua sederhana, katanya, saya lahir kamis subuh, saat frekuensi hujan mulai meninggi di kampung kami, kala petani mulai membajak sawahnya, saat semangat kehidupan warga kampung memuncak setelah lesu akibat musim kemarau. Dan kamu tahu, nak, kata bapak, hal tersebut terjadi di Bulan November saja. Entah benar atau tidak, tapi sejak saat itu saya tak pernah lagi menanyakannya.

Tingkat pendidikan adalah penyebab lain kenapa tanggal tak penting bagi kami, terutama bapak ibu saya. Kedua orang tua saya berpendidikan rendah. Tapi tunnggu, sebenarnya agak risih juga kalau mereka disebut "berpendidikan" - meskipun rendah. Musababnya, mereka berdua tidak punya ijazah sama sekali. Hanya bapak yang paham baca tulis, sedang ibu saya tragis; buta huruf. Kedua orang tua saya berprofesi sebagai petani, dan saya percaya, tidak butuh ijazah untuk menguasai ilmu membajak sawah.

Saya selalu bingung setiap kali diperhadapkan dengan  blanko, formulir, atau semacamnya yang meminta data pendidikan orang tua. Saya harus mengisinya dengan apa? Sedangkan option "tidak berpendidikan" tidak tersedia. Karena persoalan gengsi, saya isi saja "tamat SLTA". Untungnya, tidak pernah ada yang mengklarifikasi langsung kepada kedua orang tua saya. Urusannya bisa panjang.

Meskipun "tidak berpendidikan", kedua orang tua saya tahu betul bagaimana filosofi pendidikan. Terutama bapak, beliau selalu mengajarkan bagaimana adab menuntut ilmu. Sampai saat ini, meskipun beliau sudah tidak ada (semoga tenang di sisiNya), pesannya selalu saya ingat. dan menjadi energi besar yang siap melecut semangat.

Syukurlah karena orang tua saya memilih Bulan November sebagai bulan dimana saya lahir. Saya suka November. Lovely November...:D

4 November 2011

Setelah Sumpah Pemuda, Apa lagi?

83 tahun berlalu sejak dikumandangkan sumpah pemuda untuk kali pertama. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, sekumpulan pemuda mengukuhkan komitmennya sebagai wujud kesejatian anak bangsa yang kemudian diperingati setiap tahunnya hingga sekarang. Dan sekarang ini kita tengah berada dalam suasana memperingati semangat sumpah pemuda. Sebagai anak kandung bangsa kita telah bersumpah setia untuk satu nusa, satu bangsa, dan berbahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Juga, momentum sumpah pemuda mesti kita maknai sebagai bongkahan komitmen akan negeri kita tercinta, bukannya sebagai ritual tahunan. Semarak sumpah pemuda wajib harus kita jadikan sebagai pelecut semangat dalam membangun Indonesia di tengah keragaman suku, budaya, dan agama.

Tidak bisa dipungkiri, pemuda telah ikut berperan dalam rentetan sejarah bangsa indonesia. Berdiri di barisan terdepan melawan penjajah, saat deklarasi kemerdekaan, ketika pembangunan bangsa, sampai era reformasi. Di setiap catatan historis tersebut, selalu muncul pemuda sebagai motor penggerak. Founding fathers kita juga meyakini bahwa pemuda adalah aktor utama yang dapat diandalkan dalam mewujudkan cita-cita pencerahan bangsa sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Tentu saja, energi besar pemuda memungkinkan untuk diberi peran serta tanggun jawab besar seperti yang diamanahkan founding fathers kita.

Bagaimana pun, Pemuda dan mahasiswa adalah harapan bagi masa depan bangsa. Tugas utamanya adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mengambil peran dalam proses pembangunan untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Estafet kepemimpinan di semua lapisan, baik di lingkungan supra struktur negara maupun di lingkup infrastruktur masyarakat, terbuka luas untuk kaum muda Indonesia masa kini.

Tidak sulit memprediksi masa depan suatu bangsa. Lihat saja bagaimana kondisi pemuda mereka. Jika baik, maka baiklah bangsa itu nantinya. Akan tetapi, jika buruk maka bisa dipastikan nasib bangsa tersebut tidak akan lebih, bahkan kemungkinannya hancur dimasa yang akan datang. Bagaimana dengan pemuda Indonesia? Di tengah kepungan masalah yang datang silih berganti tanpa henti, budaya asing yang merangsek masuk. Sampai kita tidak bisa menunjukkan diri sebagai bangsa yang punya identitas serta nilai luhur budaya nenek moyang. Belum lagi kalau sikap pesimis, acuh tak acuh, serta malas kian mendarah daging di kalangan pemuda. Sekiranya memang demikian, maka sumpah pemuda sebagai ikrar serta komitmen kita sebagai pemuda hanya menjadi ritual tahunan, tanpa makna dan aksi untuk membangun bangsa yang lebih baik.

Sedikit banyak, apa yang menjadi keresahan kita semakin menampakkan dirinya. Gejala penyakit sosial kronis mulai menimpa kamu muda bangsa Indonesia. Dimana kaum muda sibuk dengan dirinya sendiri dengan tidak mempedulikan realitas sosial masyarakat sekitar. Apatis, individualistik, mempertuhankan materi, serta akrab dengan budaya hedonisme. Ditempat lain, sekelompok pemuda meneriakkan keadilan, perlawanan terhadap penindasan, memperjuangkan wong cilik, serta slogan-slogan “aktivis” lainnya. Tapi apa, mereka tidak lebih baik. Teriakan di jalan menguap ketika mereka pulang ke rumah masing-masing. Bau aspal jalanan mereka lupakan ketika berbenturan dengan realitas. Hanya mampu berteriak, tanpa aksi nyata. Mereka yang semestinya menjadi ruh perubahan terhadap kehidupan yang lebih baik kini tenggelam dalam refleksi kata. Kondisi demikian oleh Prof. Jimly Asshiddiqie disebut verbalisme. Suatu keadaan dimana kemampuan reflection saja yang berkembang, sedangkan agenda action mandek. Padahal, dalam tataran ideal, keduanya mesti seimbang sebagai syarat utama menatap perbaikan bangsa di era selanjutnya.

Membentuk Karakter Pemuda
Menurut Quraish Shihab, serumit apa pun persoalan yang menimpa bangsa kita, maka selalu ada jalan yang membawa secercah harapan. Harapan yang dimaksud adalah kaum muda. Seharusnya memang demikian. Namun, kita mesti siap menelan pil pahit melihat kondisi pemuda sekarang ini. Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? Jawaban terakhir yang bisa dilontarkan adalah membentuk karakter pemuda yang berintegritas, satu kata dalam perbuatan.

Dalam membentuk karakter, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak praktis. Ini penting mengingat perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu, faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.

Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang nyata. Sebagaimana slogan learning by doing, dimana kebiasaan bertindak akan menjadi pengalaman yang selanjutnya membentuk kepribadian. Menggantungkan kemajuan pada tataran wacana tidak berarti banyak jika tidak ada agenda aksi yang nyata. Kaum muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata. Karenanya, membentuk karakter kaum muda diperlukan kemampuan memaknai (rerleftion) serta bertindak (action). Hanya dengna begitu, harapan kaum muda membawa angin segar perubahan bangsa akan tercapai.

Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar dapat menjamin benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan. Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, keterampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita ke depan.

Zaman akan terus berlari dan menjauhi mereka yang tidak mau belajar dan berusaha. Terbukti, hanya orang-orang yang mau belajar dan berusaha yang mampu memimpin dan berada di garis terdepan peradaban. Sejarah telah berbicara banyak, bagaimana keberhasilan para pendahulu kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Kita semua berharap aroma perbaikan bangsa berasal dari para pemuda. Tentunya kita bisa optimis akan hal itu, sekiranya kaum muda punya karakter seperti yang disebutkan di atas.

Momentum sumpah pemuda baru saja berlalu dan kita tidak berharap peringatannya sekedar ritual tahunan belaka. Terserah bagaimana cara kita memperingatinya, karena yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai semangat yang dibawanya dalam konteks pembangunan bangsa yang lebih baik. Sekali lagi, sumpah pemuda mengajarkan kita bagaimana membentuk komitmen sebagai wujud kecintaan kita pada bumi pertiwi. Semangat ini tidak boleh berlalu begitu saja, mesti dijadikan bahan evaluasi serta refleksi terahadap sumbangan atau perjuangan kita pada bangsa.

wallahu a’lam bishawab

3 November 2011

Contoh penyakit Gila

Awalnya saya berpikiran kayak begini:
Jika ada orang yang masuk di Gym atau tempat fitnes, kemungkinannya cuma 3:

  • Homo,
  • Gigolo,
  • Tante girang

Namun, karena saya stres memikirkan perut yang terus saja membuncit ala six month ditambah obesitas yang tidak terkendali, maka saya memutuskan masuk Gym 3 hari yang lalu.
Akhirnya, saya menyesali apapun yang pernah saya pikirkan. Tapi yang pasti, saya masih merasa normal sampai saat ini...