14 Juni 2012

Pancasila, Persepsi, dan Kekerasan


Ketika firman Tuhan diturunkan melalui seseorang yang dipilih-Nya, kemudian diikuti sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat, firman itu melembaga menjadi agama. Ia kemudian berkembang menjadi institusi sosial yang hidupnya bertumpu pada kekuatan solidaritas sosial para pemeluknya.

Pada saat telah menjadi institusi sosial, agama dengan sendirinya melibatkan diri dalam dinamika pluralitas, konflik, dan perubahan yang terus-menerus. Akibatnya, agama sebagai institusi sosial terlibat dalam konflik kepentingan politik dan kekuasa a n yang sering kali mengambil bentuk kekerasan, baik secara internal dalam kehidupan agamanya sendiri maupun secara eksternal dalam kehidupan berbagai agama yang ada dalam masyarakat.

Karena itu, dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan yang tajam, radikalisme keagamaan sebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial melawan kesenjangan ekonomi dan politik yang ada. Di sinilah kemutlakan agama dijadikan landasan melakukan perlawanan sosial terhadap kesenjangan ekonomi dan politik yang memicu kekerasan sosial.

Teologi dan kekerasan
Tuhan fundamental dalam kehidupan agama. Agama tanpa Tuhan bukan agama lagi, tapi Tuhan bukan agama itu sendiri karena Tuhan tak pernah beragama yang mana pun. Tuhan menjadi sumber agama yang mana pun juga.

Dalam konteks kebertuhanan, peran persepsi sangat besar karena setiap orang yang beragama akan selalu memersepsikan Tuhannya yang jadi sandaran agama yang dianut. Jikalau persepsi orang itu berbeda-beda tentang Tuhan, apakah bisa diartikan bahwa Tuhan itu berbeda-beda dan, dengan demikian, dapatkah dikatakan bahwa apakah Tuhan itu banyak?

Meski suatu keniscayaan, persepsi sebenarnya relatif karena sangat subyektif: tergantung dari mana melihatnya dan kapan. Persepsi seseorang terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Hanya realitas artifisial yang dikonstruksikan. Maka, ada dua realitas: realitas itu sendiri yang otonom dan realitas yang dibangun dalam persepsi seseorang terhadap realitas.

Dalam realitas kehidupan sosial keagamaan, persepsi tentang Tuhan itu telah menjadi realitas fenomenal yang meluas. Setiap orang beragama dan komunitas agama memersepsikan Tuhannya sendiri-sendiri. Akibatnya, persepsi tentang Tuhannya berbeda- beda. Nama Tuhannya bisa sama, tetapi isi kesadaran yang dibentuk oleh persepsinya tentang Tuhan sebenarnya berbeda satu sama lain.

Adanya persepsi tentang Tuhan boleh dan sangat wajar. Namun, menganggap bahwa persepsinya tentang Tuhan itu patut dipertanyakan kebenarannya. Tuhan sesungguhnya berbeda dengan Tuhan yang dipersepsikannya. Persepsi tentang Tuhan bukan Tuhan karena sesungguhnya Tuhan itu tak terbatas, sedangkan persepsi bersifat terbatas. Keterbatasan persepsi seseorang membuat keterbatasan mengonstruksi ketidakterbatasan menjadi terbatas.

Hal yang kemudian jadi masalah: ketika persepsi seseorang tentang Tuhan itu dianggap Tuhan dan dimutlakkan kebenarannya. Sesungguhnya Tuhan tak bisa dimonopoli oleh siapa pun: kiai, pendeta, pastor, atau siapa pun. Dalam kenyataan sejarah, perang dan kekerasan dalam kehidupan internal agama ataupun dalam kehidupan eksternal agama terjadi karena masing-masing memperebutkan Tuhan persepsi yang ia mutlakkan. Mereka sesungguhnya berperang bukan untuk Tuhan, melainkan untuk persepsi mereka saja.

Dalam Pancasila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya berada di atas Tuhan Persepsi karena Tuhan Yang Maha Esa telah melintasi batas-batas Tuhan dalam suatu agama. Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan yang ada dalam semua agama dan diakui oleh semua agama. Bukan lagi Tuhan persepsi, tetapi sudah menjadi pengalaman kebertuhanan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa itu kehilangan makna dan kekuatannya ketika terjatuh dalam Tuhan Persepsi. Itulah yang lalu memengaruhi dan membentuk perilaku keagamaan seseorang dalam hidup berbangsa dan bernegara: orang lain yang berbeda persepsi tentang Tuhan dianggap salah dan sesat.

Radikalisme keagamaan yang memicu dan memacu konflik kekerasan melawan kesenjangan ekonomi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesungguhnya bermula dari Tuhan persepsi ini. Harus ada ketegasan negara meletakkan sila pertama Pancasila bukan sebagai Tuhan persepsi, melainkan sebagai Tuhan empirik yang menjadi praktik hidup nyata dalam berkemanusiaan yang adil dan beradab, mewujudkan persatuan Indonesia, dan melaksanakan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, serta dalam perilaku berkeadilan sosial.

Jika tak mampu tegas, negara akan terseret dalam konflik Tuhan persepsi yang berdarah-darah dan kian sulit menjadikan sila-sila berikutnya dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara secara aktual dan konkret.

MUSA ASY’ARIE Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: