16 Februari 2014

Tanpa Judul (1)

Mobil angkutan yang saya tumpangi melaju pelan. Melewati deretan angkutan lain, mencari tempat kosong. Di antara penumpang lain, saya paling gelisah. Kapan mobil ini berhenti, pikirku. Seketika berhenti, saya langsung melompat keluar dan menyemburkan isi perut yang tertahan sedari tadi. Muntah sejadi-jadinya di tengah terminal Bulukumba. Sopir dan penumpang lain kaget. Malu luar biasa. Kejadian ini kira-kira 11 tahun lalu, ketika pertama kali saya ke kota, sendirian, untuk mendaftar di salah satu SMA favorit di Bulukumba.

Medio 2003, tahun pertama di SMA, saya numpang tinggal di rumah keluarga -jauh- yang jaraknya sekitar 500 meter dari sekolah.  Di Kelas 1, buku daftar hadir saya lengkap, terisi sempurna alias tak pernah alpa dari sekolah. Bermodal 13 ribu-15 ribu per pekan, uang yang tak layak disebut "uang jajan" karena memang nyaris tak pernah dipake jajan. Uang itu saya gunakan untuk sewa mobil pergi dan pulang kampung tiap akhir pekan, beli antinyamuk bakar, telur, atau "megah mie".

Kelas 2 SMA, saya pindah kost, juga tak jauh dari sekolah. Kali ini lebih berat karena untuk makan saya harus siapkan dan beli sendiri. Kecuali beras yang saya bawa dari kampung. Bekal uang tak bertambah, 15 ribu seminggu jelas tak cukup. Akhirnya, 1 megah mie dibelah 2 untuk konsumsi 1 hari: sepulang sekolah dan malam harinya. Sesekali beli lalu goreng telur, dadar, dibagi 4 untuk persediaan makan 2 hari.

Tahun 2005, saya menjuarai olimpiade sains tingkat kabupaten bidang kimia. Kaget dan tak saya rayakan, pasalnya beberapa minggu sebelumnya, ayah saya meninggal. Oh iya, selama SMA kelas 1 sampai tamat, saya alpa 2 kali dari sekolah. Pertama, karena saya demam dan kedua karena ayah saya meninggal.

Di kelas saya menduduki peringkat 3 sampai 6, berputar di situ. Lebih karena "asal-usul" saya tidak jelas dan juga tak konsisten di semua mata pelajaran. Kecuali pelajaran kimia, jangan macam-macam. Pernah saya debat guru kimia lantaran jengkel dikira juara olimpiade bermodal aji mumpung, hehe.

                                                                          ****
Saya percaya, tak ada keajaiban atas hidup yang saya jalani. Semua berjalan berdasarkan hukum alam, hukum Tuhan. Tugas saya, memperbesar kemungkinan, peluang. Di sini letak bedanya saya, mungkin, dengan yang lain. Di sini pula, kita memaknai ajaib tak ajaibnya kejadian secara berbeda. Dan ketika saya runut kembali kejadian 10 tahun lalu hingga sekarang ini, semua teratur. Pencapaian dan beberapa kegagalan saya dapat berdasar standar kepantasan.

2014 kini, di sebuah bangunan besar, indah, sejuk dengan fasilitas mewah, saya menulis ulang perjalanan 1 dekade lalu. Saya pernah rasakan dinginyya tidur di lantai, tanpa alas. 3 tahun di bangku SMA, orangtua saya tidak pernah membelikan kasur atau bahan empuk lain, untuk saya bisa tidur nyenyak. Tak jarang menahan lapar dan haus karena takut kehabisan uang jajan untuk sewa angkutan pulang kampung. Semuanya berlalu dan saya tak ingin, gedung mewah ini membuat saya lupa ingatan-ingatan itu.

Saya ingat. Semoga saya tetap bersyukur. Bersyukur dengan tindakan. Amin.