6 Juni 2014

Random

"Pernah dengar istilah organisasi kan?" Rasanya seperti ditampar. Pembuluh darah saya nyaris tersumbat di ubun-ubun. Hanya karena dia belum dengar penjelasan saya, pertanyaan sialan itu dilemparkan ke saya. Bagaimana tidak, nyaris 7 tahun saya berorganisasi, mulai dari tukang pembuat kopi sampai pemimpin organisasi pernah saya cicipi. Dan pertanyaan itu seperti penghinaan maha besar. 

***
Tatapan dan sorot mata tak pernah berbohong. Setahu saya begitu. Ketika, sore baru saja beranjak, saya menemui beliau. Sebagai pertemuan 4 mata pertama, sikap condong nyaris tunduk saya perlihatkan. Beliau persilakan duduk. Sorot dan caranya menatap menunjukkan bahwa saya sedang berhadapan dengan sosok cerdas. Pernahkah anda menatap samar orang yang mengarahkan pandangannya ke anda? Anda tahu dia manatap anda, dan tahu betul jenis tatapannya. Tatapan yang  'mengeja'.

Saya duduk di kursi. Beliau memulai pembicaraan, memancing lalu mencerna isi perkataan saya. Yah, dia sedang menafsirkan cara saya berargumen, cara saya menangkap pertanyaannya. Beliau sedang melakukan penjajakan, sejauh mana orang yang duduk tegang di hadapannya bisa diandalkan.

Pembicaraan berlanjut dengan pertanyaan menantang dan menguji. Seakan beliau ingin buru-buru menggenggam kesimpulan. Tap ah, dia lupa mengecek CV saya di lampiran kedua amplop lamaran. Atau boleh jadi, dia sudah punya hipotesa melalui CV dan yang dilakukannya saat ini, membuktikan hipotesanya.

Setengah jam berlalu. Pembicaraan terus mengalir tanpa ada yang merasa lebih hebat dan dominan. Dalam hati, saya tersenyum sungging. Raut muka beliau menandakan keberuntungan. Beruntung karena saya ditempatkan di wilayah kerjanya. Dan saya tak perlu menatapnya untuk tahu hal itu. Itu hipotesa saya. Saya juga berhak membuat hipotesa kan?

2 bulan setelah percakapan intens pertama itu, dia memuji saya. Dalam hati, saya rasakan heroisme. Heroisme malu-malu kucing. Hingga kini, kepercayaan itu  bermetamorfosis menjadi tanggung jawab, yang kian lama kian banyak. Saya diberi jalan untuk membuktikan diri. Itu bagus buat karir saya, saya kira.

***
Paling menyenangkan ketika ritme kerja di bawah kendali. Saat jadwal berada di balik kuasamu.

***
Saya menitikan air mata, ketika orang yang membiayai nyaris sepanjang hidup saya, terbata di ujung telepon genggam. Beberapa bulan lalu dia berutang. Ketika itu, saya hendak berangkat ke tempat jauh dan dia tak punya cukup uang untuk membiayai keberangkatan saya. Seminggu lalu, dia ditagih untuk segera melunasinya. Karena tak punya cukup uang, akhirnya dia memutuskan dengan berat hati untuk meminta saya melunasinya. 

Saya menangis. Bukan karena tak punya uang. Saya punya uang lebih dari cukup untuk membayar utang tersebut. Tapi kenapa dia mesti terbata-bata meminta uang? Saya menangis karena itu. Mungkin, karena selama ini dia membiayai saya dengan ikhlas sampai merasa tak ada imbalan yang perlu dia terima, termasuk untuk membayar utang. Dia. Ibu saya.

***
Tiba saat ketika saya harus membiarkan orang lain belajar tanpa harus saya pikul tanggung jawabnya. Saya sadari satu hal bahwa baik membantu orang lain, tapi lebih baik membiarkannya menyelesaikan pekerjaannya sendiri supaya dia punya kesempatan belajar.