7 Juli 2014

Secangkir Kopi Di Bawah Jendela.


"Tak usah bijak sementara kamu sedang kenyang, karena itu palsu." Dalam perut yang terisi penuh, otak tersumbat, mata sayu, mulut menguap. Kebijaksanaan apa yang engkau harapkan. Revolusi tak pernah lahir dari perut buncit, tapi tercipta dari tubuh lapar yang memimpikan kehidupan yang baik.

7 tahun lalu, rentetan kalimat di atas diucapkan berapi oleh seorang senior di hadapan juniornya dalam sebuah aula kumuh. Saya berstatus sebagai mahasiswa tingkat dua kala itu. Bersama kumpulan mahasiswa bau aspal kering, kami mendengarkan dengan khusu'. Bak  teriakan penyulut darah, kalimat di atas membuat bulu kuduk berdiri.

Selang waktu 7 tahun, saya berada di ruang yang berbeda. Putaran waktu cepat berlalu dan rasanya begitu romantis mengingat kejadian-kejadian tersebut. Ada rindu terselip, indah. Walau tentu saja saya tak berniat kembali mengalami masa itu. 

****
Kenyataan, realita, atau apa pun namanya, seperti tetesan air yang dengan sabar menggerogoti batu idealisme. Terkikis sedikit demi sedikit. Perlahan tapi pasti, akar idealisme tercerabut seiring dengan tanggung jawab yang kita emban kini. Ujungnya kita lalu kadang lupa atas janji masa muda (bukan berarti saya sudah tua yah). Betul kata orang bahwa pundak hanya mampu memikul kenyataan selebihnya hanya angan heroisme utopis, tak nyata.

****
Saban hari, tumpukan kertas berhamburan di atas meja kerja. Saya mengintipnya satu persatu, menganalisa, dan memilih mana yang akan saya tuntaskan terlebih dahulu. Gelas ukuran jumbo, berisi kopi super kental sesekali saya seruput takzim. Kompensasi yang sepadan atas kerja keras otak. Aroma pengharum ruangan dan hembusan malas Air Conditioner menusuk tulang tak mampu meredakan suhu otak. 

Tak ada yang romantis. Semua berjalan secara mekanis. Seharian duduk di kursi yang sama, menatap layar komputer yang berisi data. Sesekali mencuri waktu di dapur, sekedar meluruskan punggung atau menghabiskan satu batang rokok. Kemudian pulang tanpa sapaan manis senja. Malam sudah meniup matahari kembali ke peraduannya. Betul kan, tak ada yang romantis.

Nyatanya, bekerja sesuai passion hanyalah klise. Ungkapan i love my job tak lebih dari sekedar upaya menghibur diri. Digaji untuk bekerja, kau anggap passion atau apa pun itu, tak ada urusan, yang penting selesai. Lagi, tak ada yang romantis.

Boleh jadi, di masa depan, rutinitas saat ini akan saya ingat sebagai sebuah romantisme. Dan mungkin di masa depan cara menimbang hidup menjadi berbeda. Jika saat ini, ingar bingar adalah solusi ampuh membalas kesedihan, mungkin di masa yang akan datang, renungan teduh diam menyepi adalah cara saya menghadapi kenyataan.

****
Malam. Secangkir kopi di bawah jendela. Pikiran di antara jeda waktu. Dan akhirnya apa pun itu, hidup adalah soal waktu dan ruang kita dimana berada. Karena masa lalu hanya pantas untuk dikenang. Show Must go on. Sekian.