13 April 2012

Antara Cinta dan Egoisme

Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa mendefinisikan ego sebagai hasil pertarungan antara id dan superego. Id sebagai hasrat hewani sedangkan superego mewakili sifat-sifat "Malaikat". Ego merupakan jembatan penghubung keduanya dan tampak dalam keseharian seorang manusia. Ketika ego cenderung berkompromi dengan id, maka yang muncul adalah hasrat kebinatangan. Begitu pula sebaliknya, jika ego didominasi superego, maka seseorang akan menjadi layaknya "malaikat". Dalam bahasa agama, muncul istilah yang lebih sederhana yaitu Ahsani Tawiim dan asfala saafiliin. Apa yang coba diungkapkan Freud mempunyai keterkaitan dengan bahasa agama tentang sifat manusia, meskipun keduanya tidaklah sepadan. Freud memandang manusia cenderung melekatkan manusia pada sifat kebinatangan, sedangkan agama mengarahkan manusia pada derajat ahsani taqwiim.

Ego dalam istilah awam tidak sama dengan yang dimaksudkan Freud. Sepertinya terjadi pergeseran makna, entahlah. Freud dan awam mungkin akan berbeda penafsiran jika kita mengatakan, "orang itu egonya sangat tinggi". Apa pun saya tidak hendak berdebat di wilayah ini. Ego atau egois dalam istilah awam yang saya pahami merupakan bentuk penegasan "keakuan" individu. Bahwa dirinya berbeda dengan individu lain, merasa lebih penting, lebih baik, dan lebih berharga. Kita sering mendengar ucapan, "dia egois", maksudnya orang itu lebih mementingkan dirinya sendiri. Ego adalah tembok yang dimiliki oleh seseorang, yang menjadi dinding pemisah. Tingginya tembok itu tergantung bagaimana seseorang memandang dirinya dan orang lain. Semakin berbeda dirinya dengan orang lain, maka semakin tinggi pula tembok itu.

Lain ego, lain pula cinta. Cinta adalah bahasa universal yang menjadi lambang penyatuan. Cinta bermakna kedekatan, tulus, tanpa pamrih. Cinta melampaui materi, sebabnya ia tidak berjarak. Cinta tidak pula bergantung pada hukum alam karena hukum tersebut hanya berlaku pada wilayah materi saja. Karenanya cinta pada materi adalah gradasi terendah dari makna cinta itu sendiri. Dan saya percaya, bahwa nasehat "cintailah Tuhanmu" adalah ungkapan kedekatan kita pada Tuhan yang meniscayakan kecintaan kita pada segala ciptaan-Nya. Cinta adalah maaf.

Bagaimana pula keterkaitan antara ego dan cinta? Ego adalah wujud perbedaan sedangkan cinta adalah bentuk penyatuan. Bahwa ego atau "keakuan" yang menjadi sebab seseorang mengabaikan perintah Tuhan-Nya. Ego terkadang menjadi "tuhan" yang lain, yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Besarnya ego menyebabkan seseorang rela meninggalkan kekasih yang dicintainya. Tidak jarang seseorang mengabaikan hati dan perasaannya atas nama ego. Seseorang tidak memaafkan kekasihnya hanya karena ego. bahkan, seseorang rela menyakiti sahabatnya demi ego. Ego adalah bentuk penegasian cinta.

Tembok ego adalah halangan atas cinta. Ini yang seringkali tidak disadari. Tidak jarang kita melihat, dua sejoli yang saling mencinta, karena sesuatu dan lain lain, tiba-tiba keduanya bermusuhan dan saling benci. Musababnya, disaat mereka berucap cinta, mereka juga masih menyimpan ego yang akhirnya berwujud kebencian. Pun, jika keduanya saling memaafkan, maka mereka adalah orang yang mampu mengalahkan ego demi cinta. Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa melakukan hal tersebut. Burete....fffiuh