21 Januari 2012

Strata Sosial [Baru] Bugis-Makassar

                                                         Sultan Hasanuddin

Sistem kemasyarakatan lama Bugis-Makassar,  terbagi atas tiga tingkatan (kasta). Pertama: ana’ karaeng (Makassar), menempati kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan. Mereka adalah kerabat raja-raja yang menguasai ekonomi dan pemerintahan. Kedua: tu maradeka (Makassar), kasta kedua dalam sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar. Mereka dalah orang-orang yang merdeka (bukan budak atau ata). Masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mayoritas berstatus kasta kedua ini. Ketiga: ata, sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Mereka adalah budak/abdi yang biasanya diperintah oleh kasta pertama dan kedua. Umumnya mereka menjadi budak lantaran tidak mampu membayar utang, melanggar pantangan adat, dll.

Seiring dengan perjalanan waktu ketika sistem kerajaan runtuh dan digantikan oleh pemerintahan kolonial, stratifikasi sosial masyarakat Bugis-makassar berangsur luntur. Hal ini terjadi karena desakan pemerintah kolonial untuk menggunakan strata sosial tersebut. Selain itu, desakan agama (Islam,red) yang melarang kalsifikasi status sosial berdasarkan kasta. Pengaruh ini terlihat jelas menjelang abad 20, dimana kasta terendah, ata, mulai hilang. Bahkan, sampai sekarang kaum ata sudah sulit ditemukan lagi, kecuali di kawasan pedalaman yang masih dipengaruhi sistem kerajaan.

Setelah Indonesia merdeka, 2 kasta tertinggi, yaitu ana’ karaeng dan tu maradeka juga berangsur mulai hilang dalam kehidupan masyarakat. Memang pemakaian gelar ana’ karaeng, semisal Karaenta, Petta, Puang, dan Andi masih dipakai, tetapi maknanya tidak sesakral dulu lagi. Pemakaian gelar kebangsawanan tersebut tidak lagi dipandang sebagai pemilik status sosial tertinggi. Lebih banyak dipakai karena alasan keturunan dan adat istiadat.

Dalam lingkup NKRI pula, 3 kasta dalam masyarakat Bugis-Makassar dianggap menjadi hambatan. Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, sedikit banyak menyudutkan stratifikasi sosial ini. Oleh karenanya, sosialisasi untuk tidak mengedepankan strata sosial lama terus digalakkan oleh pemerintah. Makna kasta sengaja dikecilkan dalam lingkup keluarga, bukan untuk dibawa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Persamaan hak serta kebebasan menjadi alasan utama kenapa stratifikasi ini sengaja dikerdilkan dalam iklim demokrasi.
 
Pergeseran Status Sosial
Perkembangan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar yang cepat ikut menggerus nilai lama yang dianutnya, yaitu pengkastaan seperti yang disubutkan di atas. Hal ini terlihat jelas terutama di wilayah perkotaan. Gelar kasta tidak lagi dianggap  sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial seseorang di mata masyarakat. Sedikit berbeda dengan wilayah pelosok yang masih kental dengan unsur feodalis. Dimana 2 kasta tertinggi masih menempati posisi tinggi. Seperti yang terlihat di beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Walaupun, mereka dihormati sesuai dengan banyaknya harta serta kedudukan di birokrasi pemerintahan.

Penulis mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi status sosial dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Pertama: posisi di bidang pemerintahan. Kesempatan yang sama diberikan Ana’ karaeng, Tu maradeka, maupun ata untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Siapa pun yang menjabat, pasti akan mendapat penghormatan lebih di mata masyarakat. Sekalipun ata, tapi punya jabatan strategis, pasti dihormat dan mendapatkan status sosial tinggi di masyarakat. Kedua: kekayaan. Sudah menjadi ketentuan umum, mereka yang punya capital melimpah akan dihormati. Begitu juga dalam masyarakat Bugis-Makassar, seseorang yang punya harta lebih banyak akan dihormati. Sebenarnya, hal ini bukanlah cerita baru, melainkan sudah ada sejak turun temurun. Kemudian yang terakhir: tingkat pendidikan. Pengaruh tingkat pendidikan sesorang juga berperan sentral dalam menentukan status sosialnya. Sistem pendidikan sudah berbeda jauh dengan masa lampau, dimana mereka yang bisa mengecap pendidikan adalah kasta tertinggi. Sekarang, semua warga negara diberikan kesempatan sama untuk mengecap pendidikan. Sehingga, tidak ada lagi dominasi pengetahuan yang terbatas pada kalangan atas saja.

Terkait dengan hal di atas, saya pernah menjumpai kasus yang menarik di salah satu kecamatan di Kabupaten Jeneponto, Kecamatan Rumbia. Di daerah tersebut banyak tinggal bija karaeng (keluarga raja/bangsawan) yang tersebar di beberapa desa. Secara turun temurun, kepala pemerintahan dijabat oleh bija karaeng tersebut, baik tingkat desa/kelurahan maupun camat sendiri.Hanya saja dalam 1-2 dekade terakhir, jabatan struktural pemerintahan tidak lagi diduduki oleh mereka dan digantikan oleh orang biasa. Pernah terjadi gejolak, bija karaeng merasa keberatan dengan kondisi tersebut. Akan tetapi, keberatan mereka tidak digubris oleh pemerintah. Setelah ditelusuri, memang syarat untuk menduduki jabatan dipemerintahan tidak mereka penuhi, misalnya pendidikan. Selain itu, kapital tidak lagi didominasi oleh mereka. Kedua hal tersebut diyakini menjadi faktor utama menagapa hal tersebut terjadi. Bahkan, camat yang saat ini menjabat bukan berasal dari kasta tertinggi. Menurut pengakuan Camat yang saat ini menjabat, dia dipanggil karaeng oleh rakyatnya, padahal silsilah keturunannya dari rakyat biasa. Dia dipanggil karaeng lantaran jabatan strukturalnya, bukan keturunannya.

Kasus di atas bisa menjadi gambaran terjadinya pergeseran status sosial di masyarakat Bugis-Makassar. Dimana status sosial tidak lagi didasarkan pada keturunan, kasta, maupun stratifikasi sosial lama. Jabatan struktural di pemerintahan, kekayaan, serta tingkat pendidikan lebih dominan berpengaruh dalam menetukan derajat sosial seseorang. Pergeseran ini semakin kental seiring perkembangan kehidupan.

Tidak ada komentar: