8 Februari 2011

Uang SPP untuk Aco

Ini cerita tentang Aco (nama samaran). Seorang mahasiswa semester akhir di sebuah universitas ternama (katanya), sebut saja UNHAS. Aco yang sudah menginjak semester 10 mulai pusing karena akhir-akhir ini beasiswa (kiriman uang) dari kampung sering bermasalah. Selain terlambat datang, jumlahnya pun dikurangi. Entah kenapa. Terang saja, kondisi ini membuat Aco mulai gelisah. Bagaimana tidak, jadwal jalan-jalan terpaksa dikurangi, rokok dikurangi pula, dll. Pokoknya yang terlintas di benak Aco, pengurangan jatah uang jajan adalah bencana.

"Bencana" ini melanda Aco 2 bulan terakhir. Siklus hidupnya mulai terganggu, sangat terasa. Aco pun berpikir keras, bagaimana caranya agar siklus hidupnya kembali normal. Berpikir lama, akhirnya Aco mendapat ide. Kalasi (curang, makassar) adalah cara terbaik yang akan dijalankan oleh Aco, demi hidup, katanya. Caranya begini, Aco pulang ke kampunganya, nginap di rumah teman di kota. Kebetulan Aco rumahnya di Desa. Besoknya Aco langsung ke kampungnya. Aco berpikir, cara ini akan dilakukannya setiap 2 minggu sekali, karena uang jajan hanya cukup untuk 20 hari saja (kalau irit). Ketika ditanya orang tuanya, kenapa pulang, jawaban Aco adalah ada kegiatan organisasi di kota. Cerdas juga Aco ini.

Cara di atas, mulai dijalankan. Aco pulang, dan nginap di rumah temannya di kota. Esoknya Aco langsung ke rumahnya. Sampai disini, semua berjalan lancar. Aco senang, Akh, cara ini pasti berhasil. Ibu Aco heran, kok, anaknya tiba-tiba pulang, tidak biasanya.
"nak, kenapa pulang, katanya mau lama di makassar" seloroh ibunya memulai pembicaraan.
"Ada kegiatanku di kota" terang Aco.
"oh..." lanjut Ibu Aco.
"ma, habis uangku" neluh Aco.
"kenapa cepat sekali? Tanya Ibunya. "Nda uangku ini nak" lanjut Ibu Aco.
Aco tampak gelisah mendengar jawaban ibunya. Harus didesak ini, pikir Aco.
"Saya kuliah besok, bahaya kalau nda kemakassar ini hari, bisa Error nilai" Ancam Aco.
"Iya, tunggu dulu, mudah-mudahan nenekmu punya uang?" Ibu Aco agak panik.

Sesampai di rumah nenek Aco, Ibu paruh baya ini bercerita panjang lebar. Entah maksudnya apa, mungkin saja untuk merayu nenek Aco yang terkenal dekil (eh, pelit). Sedikit memelas dan rayuan, akhirnya nenek Aco kalah juga. Uang 100 ribu rupiah (uang satu-satunya), uang yang sengaja disimpan untuk membayar listrik bulan januari akhirnya diserahkan ke Ibu Aco. Usaha yang tidak sia-sia demi seorang anak tersayang.

Ibu Aco datang dengan muka berseri. Aco melihat dengan jelas dari kejauhan, ia pun ikut senang. Sepertinya kabar baik, pikirnya.
"Ini uang dari nenekmu?" Sambil mengulurkan uang lembaran 100 ribu ke Aco.
"kok segini?" Muka Aco tampak keruh.
Menghela nafas dalam mendengar ucapan anaknya. Raut wajah wanita paruh baya ini semakin jelas. Mimik mukanya sulit dejelaskan. Dia tahu betul, uang 100 ribu mustahil cukup untuk Aco. Tapi kondisi sangat tidak memungkinkan, ini musim panceklik, tidak ada panen hasil tani di Bulan Januari dan Aco tahu betul keadaan itu. Hanya berharap, mudah-mudahan anaknya bisa mengerti menerima uang uang yang disodorkannya.
"Nanti akan dikirim lagi kalau sudah ada uang nak" Pinta Ibu Aco.

Uang 100 ribu dicomot oleh Aco. Kemudian pergi meninggalkan begitu saja ibunya. Wajah kesal tentu saja terlihat jelas di mukanya. Aco ke kamarnya, mengemasi barang-barangnya. Ibu Aco ikut masuk ke kamar, berusaha menenangkan anaknya.
"Nak, sabar dulu, minggu depan ibu janji akan kirim uang lagi" Pinta sang ibu.
Aco sepertinya tidak goyah, tetap cuek.
"Kau tahu nak, kenapa uang SPP yang ibu kirim 2 minggu lalu basah?" lanjut Ibu Aco.
"Kenapa?" Aco menjawab seadanya.
"Waktu itu, uang ibu cuma punya uang 300 ribu, kurang 700 ribu. Ibu ke tantemu di G. Beru (nama kampung, tidak jauh dari kampung Aco) minta uang. Ibu nginap disana karena hujan deras. Besoknya Ibu pulang, ternyata sungai airnya naik (sungai yang memisahkan kampung Aco dengan G. Beru). Ibu harus lewati sungai karena sudah tanggal 27 (28 Januari adalah tenggat akhir pembayaran SPP). Akhirnya, ibu coba menyeberang. Karena arus deras, ibu terhanyut beberapa meter, uang SPP mu ikut hanyut. Untungnya ibu bisa meraihnya kembali, walaupun isinya sudah basah" Ibu Aco menjelaskan panjang.

Aco terdiam, rasa sesak jelas terasa di dada Aco. Tiba-tiba ia merasa anak paling berdosa di dunia ini. Tidak tahu diri, kata yang pantas menurutnya. Aco teringat 2 minggu lalu ketika ia minta uang SPP. Waktu itu, sudah tanggal 27, kiriman belum datang juga padahal tenggat terakhir pembayaran SPP adalah 28 Januari. Saat itu dia marah, ini orang tua niat atau tidak kasi kuliah anaknya. Aco sepertinya tidak sadar kalau dia sudah semester 10, seharusnya dia sarjana 2 semester lalu. Dasar Aco! Tanggal 28 kiriman datang, langsung Aco ke Bank BNI membayar SPP-nya. Di teller,
"kok uangnya basah" Protes teller bank.
"hujan tadi malam mba, dompet saya basah" jawab Aco tanpa pikir panjang.
Dalam hati, Aco agak jengkel dengan ibunya, kok uangnya basah, malu sama teller bank. Dalam perjalanan pulang pun, Aco masih menggerutu. Peristiwa tadi memalukan menurutnya. Saat itu, hal yang tidak diketahuinya adalah seorang ibu yang mempertaruhkan nyawa demi anaknya yang mau melanjutkan kuliah.

Aco meninggalkan ibunya, menuju kota, tanpa kata. Ia tidak ingin melihat wajah ibunya, takut air matanya tertumpah. Aco melaju, membelah jalan sunyi di kampung. Di jalan, Aco menangis, betapa menyesalnya ia. Janda itu (Ibu Aco,red) meneteskan air mata, menatap Aco yang mulai menghilang dari pandangan, ada doa dan harapan untuk Aco. Semoga Aco menjadi manusia, layaknya manusia, pintanya dalam hati...

Tidak ada komentar: