6 Maret 2011

Kekerasan Atas Nama agama Sampai Fenomena Idol Sang Berhala Modern

Menarik ketika saya membaca bagian terakhir esai Prof. Azyumardi Azra, Phd., Transformasi Besar, yang dibukukan dalam "Jejak-jejak Jaringan Muslimin; Dari Australia Hingga Timur Tengah". Di dalamnya dibahas secara eksplisit 'kebrutalan' komunitas tertentu yang mengatas-namakan agama sebagai tameng untuk melegalisasi terjadinya kekerasan. Walaupun masih menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai, apakah hal tersebut dibenarkan oleh agama atau tidak. Yang jelas, saya yakin hal ini sangat bertentangan dengan semangat yang dibangun oleh agama itu sendiri, agama apapun itu.
Di lain pihak, peningkatan jumlah pemeluk agama sama sekali tidak menurunkan intensitas pengrusakan terhadap alam, egoisme beragama, teror, ketidak-santunan. Seakan-akan agama tumbuh bersama dengan kekerasan-kekerasan tersebut. Sekali lagi, semangat yang sangat bertentangan dengan agama. Dalam konteks lokal, tragedi Temanggung adalah bukti nyata yang tak terelakkan, betapa agama dijadikan alasan untuk menghukum secara membabi buta.
Apa yang harus kita lakukan?
Karen Amstrong menawarkan solusi bagi semua umat beragama. Menurutnya, kita_umat beragama_ harus kembali pada perenial wisdom. Dimana agama tidak hanya mengajarkan spiritual semata, tapi lebih jauh, agama harus menekankan signifikansi etis dan moralitas dalam jantung kehidupan spiritual. Agama tidak harus dipahami secara sempit, melainkan dipahami bahwa agama adalah untuk_salah satunya_ berbuat kebaikan, apa pun konteksnya. Semangat ini yang seharusnya terbangun di semua umat beragama.
Yang tak kalah menariknya dalam ulasan Azyumardi Azra adalah pembahasan manusia dalam wajah peradaban modern. Dimana diakui bahwa kemanusiaan dipahami semakin artifisial. Bahkan sangat jauh dari kedalaman substansial; kedalaman ruhani yang semakin sulit ditemukan. Keadaan ini berdampak langsung pada aspek keseharian. Kondisi manusia yang semakin artifisial, seperti yang disebutkan di atas, diyakini akan menjadi 'tragedi' selama manusia 'substansial' tidak tersentuh. Manusia 'substansial' yang dimaksud adalah perenial wisdom seperti yang dijelaskan sebelumnya. Lantas siapa yang menjadi sasaran? Tentunya umat beragama itu sendiri. Kesimpulan yang ditarik oleh Azyumardi Azra bahwa kita umat beragama harus belajar secara komprehensif tentang kehidupan kemanusiaan menuju peradaban yang lebih baik dan lebih mencerahkan.
Masih sekitar manusia artifisial, fenomena mode, idol, dan segala bentuk 'pemujaan' modern Sekarang ini_kenyataan yang kita saksikan kasat mata_ mode menjadi 'berhala' baru. Tak tanggung, kekerasan rela dilakukan pada wajah sendiri untuk sekedar lebih 'cantik'. Berkat 'tusukan' media, kultur selebritis kian membabi buta dengan segala intrik, glamor, dan kontroversinya. Menyerang siapa saja, tanpa ampun. Setiap orang begitu mabuk dan senang untuk sekedar melihat idol mereka. Padahal secara harfiah, idol berarti 'berhala'. Dalam konteks Indonesia, muncullah Indonesian idol, KDI, Akademi Fantasy, serta segala macam bau  idol. Seakan kita dipaksa menjadi penyembah berhala. Yah, berhala baru.
Wallahu A'lam...
 

Tidak ada komentar: