13 Agustus 2011

Terjebak pada Pusaran Verbalisme

Menengok kondisi kekinian bangsa, sangat miris rasanya. Pemerintahan yang disokong dukungan kuat serta suara mayoritas rakyat Indonesia tidak berpengaruh signifikan dalam pembangunan bangsa. Pemerintahan SBY jilid II sedikit banyak telah terbukti "ompong" mengatasi masalah bangsa. Padahal, dalam sejarah pesta demokrasi pasca reformasi, SBY dan Boediono adalah peraih suara terbanyak. Awalnya, dukungan tersebut memberi kita harapan besar mengenai perbaikan bangsa dan negara. Apatah dikata, dilihat dari berbagai sudut pandang, pemerintahan kali ini lebih layak dijudge gagal.

Penulis pribadi, berbesar hati ketika SBY mendeklarasikan, untuk kesekian kalinya, penegakan supremasi hukum. Dalam perjalanannya, asa itu kemudian pudar seiring dengan kesibukan pemerintah mengurus dirinya. Alih-alih mengurus rakyat, SBY malah sibuk menjaga citranya di mata rakyat. Pekerjaan sia-sia yang tidak jelas juntrungannya. Pun kemajuan yang didengungkan selama ini tidak menyentuh rakyat secara riil. Hanya kata yang terlontar tanpa implementasi. Akhirnya, pemerintah mengalami pergeseran fungsi, dari yang awalnya mengurusi rakyat menjadi pabrik kata-kata.

Di lain pihak, politisi sibuk mencari celah kekuasaan. DPR yang sejatinya tempat memperjuangkan aspirasi rakyat malah menjadi arena pertarungan politik, gulat kekuasaan. Bak arena tinju untuk mempertontonkan siapa yang lebih baik. Tidak mengherankan jika setiap masalah yang dianggap populis di mata rakyat selalu di buatkan panja, pansus, atau apa pun istilahnya, kemudian di siarkan dimedia secara massif. Akhirnya, rakyat hanya akrab dengan wajah politisi tanpa tahu apa yang mereka telah lakukan untuk bangsa, kalau pun ada. Sibuk berdebat kiri kanan, menuding si A dan si B. Di saat rakyat pusing memikirkan bagaimana mereka bisa makan hari ini, para politisi malah sibuk berdebat. Jadinya, saya bisa mafhum sekiranya seseorang ditanya mengenai tugas anggota DPR; berdebat.

Verbalisme
Paulo Freire mengakui, perubahan selalu dimulai dari kata-kata. Akan tetapi, kata yang baik dan efektif menurutnya haruslah mengandung dua dimensi, yaitu refleksi (reflection) dan aksi (action). Jika kata hanya bersisi refleksi, pengertian, pemahaman saja, jika penguasaan kata hanya terletak pada sisi ini saja akan menghasilkan verbalisme. menguasai kata secara kognitif (verbalis). Lebih populer dengan sebutan NATO atau "no action, talk only". Tetapi sebaliknya, jika kata hanya berisi aksi atau tindakan, maka kata yang demikian hanya akan menghasilkan aktivisme, yaitu aktivitas tanpa perenungan dan kedalaman makna.Karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep praxis sebagai gabungan dimensi refleksi dan aksi dalam kata. Praxis inilah yang penting diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu pendidikan kata-kata yang menyatu dengan tindakan nyata.

Kekhawatiran saya mengerucut pada pembentukan karakter bangsa. Cukup beralasan, saya kira. Sedikit banyak pengalaman berperan sentral membentuk watak dan karakter bangsa. Perdebatan serta pencitraan yang mengedepankan aspek kekuasaan tanpa disertai wujud nyata dalam pembangunan akan menggiring bangsa ke budaya verbalisme. Bagaimana pun, elit penguasa tetap mempunyai pengaruh ke rakyat banyak. Jika pun demikian seterusnya, tontonan verbalis lambat laun menjadi pengalaman yang ikut menentukan karakter bangsa.

Hemat penulis, membangun karakter tidak cukup dengan verbalisme seperti yang sering dipamerkan elit penguasa. Terjebak pada verbalisme akan menumbuhkan budaya malas, debat kusir. Seharusnya, mereka sebagai suara representatif rakyat mencontohkan budaya  positif dengan belajar memahami demokrasi sebagai alat untuk mensejahterahkan rakyat. Harapan besar berada di pundak mereka, semoga saja mereka sadar.

Tidak ada komentar: