18 Januari 2012

Reformasi Menurut Cak Nur //Part 2 (selesai)

Menyambung tulisan sebelumnya reformasi menurut Cak Nur, saya hendak menyampaikan beberapa poin mengenai persoalan tersebut. Mengingat tulisan tersebut belum tuntas sepenuhnya. Ada beberapa kecenderungan yang semakin menguatkan pendapat Cak Nur bahwa reformasi adalah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, tidak lebih tidak kurang. Bahwa reformasi hanyalah rekayasa sosial. Yakni beberapa pihak menginginkan Indonesia berubah menjadi negara "liberal". Ini bukan sekedar preseden atau asumsi murahan, melainkan fakta telah menunjukkan validitasnya.

Mengorek kembali sistem demokrasi yang dipahami zaman orde. Pada saat itu, hanya diakui 3 partai dimana Golkar sebagai ban serep pemerintah sedangkan 2 partai lainnya, PDI dan PPP hanya sebagai "pelengkap". Mengkritik pemerintah bisa berbuntut panjang. Sentralisasi segala bidang yang begitu kental. Hanya orang-orang yang dekat dengan keluarga cendana yang bisa menduduki pos penting dalam roda pemerintahan. Siapa yang tidak patuh, siap-siap saja dihabisi. Orde baru menjadi monster raksasa yang menelan korban, entah jumlahnya berapa. Tidak usah bertanya jika ada orang yang tiba-tiba hilang, karena mungkin dia sudah diciduk "aparat". Jauh ke pelosok desa, informasi sangat terbatas. Mereka buta informasi terhadap kondisi pemerintahan karena memang aksesnya sangat terbatas. Lagi pula mereka juga tidak peduli. Toh, yang penting bisa hidup dengan tenang. Dan itulah yang menjadi jaminan mengapa orde baru bertahan sampai 3 dekade (32 tahun).

Akhirnya seperti kita ketahui, reformasi tumbang pertengahan 1998. Indonesia memasuki babak baru sistem pemerintahan, reformasi. Harapan dan semangat membangun Indonesia terkristalisasi dalam benak rakyat seperti yang dicita-citakan founding fathers. Supremasi hukum, pemberantasan KKN, perbaikan ekonomi, sosial, dan politik, pembukaan kran demokrasi adalah beberapa tujuan reformasi. Cita-cita yang sungguh mulia. Namun, perjalanan reformasi menjadi bias. Tuntutan tahun 1998 menguap begitu saja, entah kemana. Korupsi merajalela membentuk lingkaran setan, hukum tebang pilih, KKN, ekonomi tersandera oleh asing, sosial politik hingga budaya yang semakin kabur dari ciri ketimuran. Demokrasi yang sejatinya sebagai instrumen untuk mensejahterahkan rakyat malah menjadi "industri" besar oknum tertentu. Indonesia menjadi negara besar yang lumpuh, tidak mampu berjalan dengan kaki sendiri. Terbukti dengan trilyunan bantuan asing yang masuk untuk memberi napas bangsa Indonesia.

Liberalisasi berkedok globalisasi. Caranya dengan  mengutus "agen global" untuk diadopsi di Indonesia seperti film, fashion, gaya hidup, teknologi, dan lain-lain. Otak rakyat Indonseia disetting sedemikian rupa agar mengikuti trend global. Film barat berbau seks, pornografi, dan brutal menjadi tontonan kaum muda di bioskop. Belum lagi produk-produk asing yang murah tapi "keren" membanjiri swalayan-swalayan. Hasil karya anak bangsa  kian tersisih. Coba perhatikan kehidupan kita selama 24 jam dari bangun tidur hingga terlelap di malam hari, hampir semua yang kita gunakan adalah produk asing. Bayangkan jika produk Unilever, Danone, Nokia, Blackberry, Telkomsel, Acer, Thosiba, dan Indosat distop sehari saja, niscaya rakyat Indoesia akan kelabakan. Belum lagi DPR dan pemerintah yang semestinya menjadi tameng bagi rakyat yang terlanjur lemah ini, malah menjadi sarang kompromi terhadap asing. Terlihat dengan sejumlah regulasi dan Undang-undang yang mereka keluarkan. Sampai disini, relevansi Cak Nur tentang demokrasi kian terang-benderang.

Bicara ketidakberesan Indonesia tidak akan ada habisnya. Reformasi yang memudahkan modal asing masuk ke Indonesia. Perusahaan lokal diadu langsung dengan perusahaan asing. Jelas, perusahaan lokal kalah telak. PSM diadu dengan Manchester United. Tidak masuk akal kan! Konglomerat asing masuk begitu mudahnya dan menguasai sektor strategis perekonomian kita. Menjadikan ekonomi tersandera oleh asing. Dengan kondisi seperti ini, rakyat tidak akan menuntut apa-apa. Mereka tidak tahu apa-apa kok! Rakyat gamang dengan perubahan yang cepat. Mereka tidak sempat berpikir. Mereka tidak mau tahu, yang penting mereka hidup "baik" hari ini. Arus frontal yang datang seketika tidak mampu dibendung oleh rakyat. Tidak peduli jika dibodohi sekalipun. Siapa yang salah? Reformasi, pemerintah, atau rakyat itu sendiri? Tidak semudah mengacungkan jari telunjuk. Kita mesti berpikir dan melihat masalah secara holistik. Terlebih dahulu kita harus membongkar paradigma dan kesalahan sistemik yang merantai bangsa Indonesia.

Secara tersirat, Cak Nur memang melihat reformasi cenderung mengarah pada liberalisasi. Hal ini bisa diatisipasi jika ada pengawal yang konsisten. Sayangnya tidak?! Aktor reformasi tersisih dan digantikan oleh aktor lama yang korup dan amoral itu. Aktor lama itu seperti macan lepas kandang, menyeruduk, menggonggong, menjilat, dan menerkam di sana-sini. Merekalah yang sibuk berceloteh di depan media. Memperebutkan kekuasaan, membagi jatah proyek, lompat kiri kanan, berganti topeng, seakan merekalah reformis yang sesungguhnya. Di sisi lain rakyat tidak siap dengan format baru yang dibawa reformasi. Berpikir sempit dan pendek. Pendidikan yang mereka peroleh jelas tidak cukup untuk mengawal reformasi. Bagaimana dengan intelektual kampus yang suaranya paling nyaring ketika Soeharto ditumbangkan? Setali tiga uang, mereka terlalu sibuk menikmati masa muda. Sulit saya jelaskan.

Inilah reformasi. Jika Indonesia harus tumbang nantinya, tidak ada yang harus disalahkan kecuali rakyat termasuk pemerintah. Dan saya yakin, jika keadaan ini terus berlangsung maka Indonesia akan menjadi negara gendut, pemalas, bodoh yang dipenuhi penyakit seperti stroke. Tewas tidak bersisa. Maaf kalau saya terlalu sinis melihatnya. Inilah bentuk keresahan yang terus menghantui saya. Sudi atau tidak, kita mesti mengakui bahwa reformasi sekedar angin segar tapi beracun.
wallahu a'lam... 

Tidak ada komentar: