11 Februari 2012

Takdir

Takdir dipahami sebagai kejadian yang telah dialami manusia. Keberlangsungannya niscaya, kita tidak punya wewenang untuk mengubahnya. Seperti kejadian yang baru saja berlalu, kita tidak bisa mengubahnya. Itulah takdir. Sejalan dengan ungkapan, "takdir tidak bisa diubah". Pertanyaannya kemudian, apakah kita tidak punya wilayah pada takdir itu sendiri?

Yang saya ketahui, bahwa takdir memang tidak bisa diubah karena jelas itu bukan wilayah manusia. Akan tetapi, pada kondisi tertentu takdir bisa diset sesuai dengan keinginan kita. Orang tua, jenis kelamin, gravitas bumi, dan golongan darah adalah contoh takdir dimana kita tidak punya pilihan untuk mengubahnya. Sedangkan, pakaian, sepatu, pendidikan, dan makanan adalah wilayah takdir dimana kita punya wewenang untuk menentukannya sendiri. Dalam bahasa agama, hal ini juga dijelaskan secara sederhana oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika itu, seorang mendatangi Ali dan bertanya tentang konsep takdir. Ketika itu beliau meminta orang tersebut berdiri dengan satu kaki dan berselang beberapa waktu diminta lagi untuk mengangkat kakinya yang satu lagi. Sontak, orang tersebut terjatuh. Pesan yang beliau hendak sampaikan, bahwa ada wilayah dimana kita punya kesempatan untuk berikhtiar dan ada pula kondisi dimana kita tidak punya wewenang untuk berusaha.

Dalam kehidupan sehari-hari, takdir sering diasosiakan dengan hal yang sifatnya negatif, misalnya, miskin, kecelakaan, banjir, musibah, dan sederet kejadian yang tidak menyenangkan. Padahal kaya, bahagia, cantik, dan gagah juga bagian dari takdir. Dalam hal ini, kita harus bijak memaknai sesuatu. Tentu Tuhan punya maksud kenapa kita terlahir dari orang tua miskin misalnya. Pasti ada hikmah yang hendak Tuhan sampaikan, baik tersurat maupun tersirat. Jangan sampai kita menyesali sampai mengumpa takdir tersebut. Seperti kata pepatah "terjatuh, tertimpa tangga pula". Kasian di kitanya dan sama sekali tidak gunanya.

Lebih parah jika kita menyesali takdir, dimana kita punya wilayah untuk berikhtiar, misalnya ketika nilai ujian jelek. Lantas menyalahkan takdir. Ini sungguh pekerjaan yang sia-sia. Toh, yang paling pantas disalahkan jika memang demikian adalah diri kita sendiri.

lantas bagaimana cara mengubah takdir? Tidak ada cara lain kecuali membuat diri kita pantas. Jika mau lulus ujian, maka kita harus belajar sampai kita pantas untuk lulus. Mau kaya, maka kita mesti menjadi pribadi yang pantas kaya dengan cara berusaha dan bekerja keras. Maksud saya, takdir harus dipahami sebagai sebuah efek atau kesimpulan. Jika kita melakukan hal yang baik, maka efeknya akan baik pula dan itulah takdir. Sedangkan jika kita berbuat jahat, maka efeknya akan negatif dan itu juga takdir. Intinya kembali ke diri kita masing-masing, bahwa takdir juga sangat bergantung dengan apa yang kita lakukan.
Wallau a'lam bishawab

Tidak ada komentar: