20 Desember 2013

Bumi Manusia dan Bacaan yang Tak Usai

Pramoedya Ananta Toer
(sumber: www.intisari-online.com)
Saya adalah penggemar novel. Puluhan, mungkin juga ratusan novel sudah terlahap habis. Salah satu penyebabnya, saya sangat lemah ketika masuk di sebuah toko buku, terutama saat berdiri di depan etalase yang menampilkan berbagai macam novel. Banyak kali saya harus puasa karena kehabisan uang jajan sepulang dari toko buku. Awalnya saya anggap ini sebagai kekurangan, tetapi lama-lama saya merasa beruntung. Setidaknya, saya "dipaksa" banyak membaca. Merasa rugi saja kalau membeli novel tapi hanya jadi pajangan kamar.

Sementara itu, saya termasuk selektif memilih novel. Pertimbangan ini muncul karena saya tidak punya cukup budget untuk sebuah buku (maaf) sampah. Lagi pula, saya tidak punya banyak waktu untuk membaca novel yang menurut saya tak menarik. Sebelum membeli, biasanya saya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang novel yang akan saya beli. Dalam hal ini, trek rekor penulis menjadi sangat penting. Sekali jatuh cinta pada seorang penulis, maka saya akan memburu karya-karyanya. Anggapan saya -sejak dulu-, penulis yang bagus akan membuat karya hebat meski mengangkat cerita berbeda. Panduan tersebut berhasil, sejauh ini.

Sebuah keberuntungan, ketika mendapati Tetralogi Bumi Manusia di sebuah toko buku. Mengingat, buku ini sudah sulit kita temukan kecuali di pasar gelap atau toko buku loak. Saat itu tahun 2009 dan perkenalan saya dengan Pramoedya Ananta Toer dimulai lewat Tetralogi Bumi Manusia. Kekaguman saya kepada Andrea Hirata runtuh seketika, diganti oleh om Pram (sapaan penggemar Pramoedya Ananta Toer). Tak lama berselang, karya om Pram menjadi buruan utama dan beberapa di antaranya berhasil saya dapatkan di Yogyakarta. Di antaranya, Sang Pemula, Arok Dedes, Panggil Aku Kartini Saja, Gadis Pantai, Cerita Calon Arang, Jalan raya Pos; Jalan Deandels. Terbilang sedikit, tapi itu saja sudah saya anggap keberuntungan sekaligus kebanggaan.

Di Indonesia ini, rasanya tak ada yang mampu mengungguli Pramoedya Ananta Toer soal kelihaian mengangkat cerita dan kecerdasan memilih kata dalam kalimat di setiap karyanya. Dayanya sungguh magis, sulit diungkapkan. Tema yang dia pilih juga tak kalah menterengnya, terutama dalam Tetralogi Bumi Manusia. Nilai universal dan kemampuan menyentuh sisi kemanusiaan terhampar di setiap lembarnya. Perjuangan menjadi manusia seutuh manusia, harga diri, perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan menyatu dalam cerita utuh. Bahwa, manusia derajatnya sama dan hanya manusia kerdil yang tega menjajah sesamanya -manusia. Bahwa melawan penindasan bukan soal kalah atau menang, tapi soal melawan-nya. Tak ada yang percuma atas sebuah perlawanan.

Keelokan sebuah novel, menurut saya, terletak pada relevensinya dalam konteks kekinian. Boleh jadi, sebuah novel hanya menyajikan cerita yang pesannya hanya cocok pada era tertentu. Atau novel yang hanya membaca kita pada pengalaman tertentu untuk sekedar mengetahuinya, tak lebih. Beberapa novel mungkin telah ditelan zaman, hanya dibaca sekedar mengetahui nilai sastra yang dikandungnya. Tak banyak novel yang mampu memaksa kita untuk membacanya, hanya karena isi dan pesannya penting untuk diketahui di era mana pun itu. Dan Tetralogi Bumi Manusia adalah salah satu novel yang tak lekang oleh zaman. Isinya, menurut saya, selalu baru, fresh, relevan, menginspirasi, dan mengingatkan kita harusnya manusia bertindak dan berpikir.

Entah sudah berapa kali saya menamatkan keempat novel dalam Tetralogi Bumi Manusia. Saya mengulang bukan untuk mengetahui detail cerita, melainkan untuk meresapi semangat perjuangan seorang Minke. Keteguhan Nyai Ontosoroh. Kelembutan Annelies. Keangkuhan Mellema. Paradoksnya Jacques Pangemanann. Dan saya tidak mampu meresapi hanya dengan sekali baca, dua, tiga, atau banyak kali. Membaca Tetralogi Bumi Manusia adalah pekerjaan yang tak pernah usai. Bacaan yang tak usai, tepatnya.

Petani dan Hantu Inferioritas

Miris melihat data sensus pertanian yang dirilis oleh BPS pertengan 2013 lalu. Setiap tahun jumlah petani susut rata-rata 1,75%. BPS menyebutkan, jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia turun 5,04 juta dari tahun 2003 yang sebesar 31,17 juta. Jika dihitung dalam satu dekade terakhir jumlah petani anjlok hingga 16%. Artinya, jumlah petani hingga kini tersisa sekitar 26,13 juta. Tren penurunan ini diperkirakan akan terus berlanjut sekiranya tak ada langkah efektif dan serius pemerintah. Sementara itu, agak absurd berharap banyak pada pemerintahan SBY mengingat signifikansi penurunan jumlah petani terjadi selama SBY berkuasa.

Secara nasional, penurunan jumlah petani tentu saja menyerempet banyak aspek. Terutama ekonomi dan stabilitas pangan di Indonesia. Saya sendiri tak mungkin membahasnya detail. Terlebih keterbatasan ilmu di bidang pertanian dan ekonomi. Juga tak akan membahas kehidupan ekonomi mereka yang memilih pensiun sebagai petani. Saya hanya akan membahas kasus yang mungkin sifatnya 'kasuistik', tak berlaku di tempat lain. Tulisan ini tidak memuat data, hanya pengamatan kecil dan berusaha menarik benang merah atas fenomena di atas.

Sebagai informasi awal. Saya lahir di sebuah kampung sederhana bagian utara Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kampung berpenduduk nyaris 100% petani dengan tingkat pendidikan rendah. Rata-rata tamat SD, yang buta aksara juga tak sedikit. Hingga awal 2000-an, tak sampai 10 orang yang menamatkan pendidikan sampai tingkat universitas. Sedih juga, tapi itulah kenyataannya. Kendala ekonomi dan orang tua yang parno dengan pendidikan tinggi - yang katanya berbiaya tinggi. Faktor terakhir ini lebih dominan sebenarnya. Lebih baik berhenti ketimbang menjual tanah warisan demi biaya sekolah.

Seiring berjalannya waktu, ditambah serbuan informasi - terutama dari TV - membuat persepsi warga kampung tentang pendidikan berubah. Fakta ini setidaknya bisa diamati sejak tahun 2005 hingga sekarang. Ditunjang kehidupan ekonomi yang semakin membaik karena peningkatan harga komoditas tani. Banyak orang tua mengirim anaknya kuliah di Makassar. Kabanyakan ilmu keguruan atau bidang kesehatan. Menggembirakan. Kendati tersimpan bahaya laten jika menaksir keberlangsungan profesi petani di masa depan. Berikut yang mungkin berguna sebagai bahan renungan.

Coba tanya satu orang anak petani, satu saja. Mau jadi apa jika dewasa kelak. Jawabannya mungkin macam-macam kecuali satu; jadi petani. Nyaris tak ada anak petani - dalam bayangan saya - yang mau mewarisi profesi orang tuanya, kecuali terpaksa atau dipaksa keadaan. Taruhlah 10 anak petani, semuanya bercita-cita berprofesi apa saja kecuali jadi petani. Mungkin hanya 1 atau 2 saja yang 'sial' dan akhirnya jadi petani, selebihnya tidak. Apa artinya, petani tak mewarisi petani baru - yang lebih muda. Akibatnya, lambat laun usia petani semakin tua dan hanya digantikan segelintir orang-orang sial yang jumlahnya lebih sedikit. Bagaimana 10 tahun ke depan, 20 atau 30 tahun? Tidak usah dijawab. Nah, itu yang pertama.

Tidak usah guru atau tenaga kesehatan, coba tanya sarjana pertanian yang rela jadi petani. Nyaris tak ada (bisa dicek lagi kebenarannya). Sulit ditemukan, pemuda lulusan pendidikan tinggi yang mau jadi petani, sekalipun dia anak seorang petani. Seringkali ini yang jadi pembenaran: sarjana pertanian tugasnya pada bagian manajemen pertanian, penyuluh, atau pengembangan bibit unggul. Bukan saya mencoba mendiskreditkan profesi "tanpa keringat" tersebut. Akan tetapi, aneh saja jika semua sarjana pertanian ogah mengayun cangkul, cemplungkan kaki di lumpur, dan merasakan gemburnya tanah ladang.

Akhirnya, lambat laun stigma bertani sebagai pekerjaan kasta rendah, kotor, dan hanya andalkan otot melekat sudah. Anggapan ini menggiring petani menjadi kaum inferior di antara profesi-profesi lain. Sekali waktu dalam pengumuman kelulusan siswa, ayah salah seorang siswa dipersilakan duduk di kursi terdepan oleh kepala sekolah. Dia bingung tak berani mengangkat muka dan memilih duduk di kursi belakang. Maklum, sebagai petani biasa dia tak terbiasa duduk di kursi terdepan yang dianggap "terhormat" dan hanya pantas ditempati pejabat atau mereka yang punya kuasa di pemerintahan. Intinya, dia malu dan tidak pantas karena merasa "lebih rendah". Di tempat lain, tak jarang kita melihat pemandangan serupa, di mana petani memilih duduk di pojokan karena merasa itulah tempat wajar bagi mereka. Miris.

Inferioritas petani memang sudah luas menggejala. Kehidupan royal masyarakat perkotaan yang nyaris tanpa petani dan pedesaan yang diisi kaum udik minus pengetahuan dan teknologi semakin menyudutkan petani. Di masa yang mungkin tak lama lagi, bertani adalah pemandangan langka. Hamparan sawah hanya menyisakan dongeng pengantar tidur. Alat pertanian tradisional ditaruh di museum karena tak ada lagi yang menggunakannya. Di kampung, boleh jadi di Indonesia juga, petani musnah digantikan mesin dan pekerja (bukan petani) di tanah pertanian perusahaan. Entahlah.

Bayangan saya - semoga tidak terjadi - suatu saat, petani kita menyerah pada zaman. Tua, perlahan mati bersama karat cangkul dan terkubur bersama hantu inferioritas. Semoga tidak!