20 Desember 2013

Petani dan Hantu Inferioritas

Miris melihat data sensus pertanian yang dirilis oleh BPS pertengan 2013 lalu. Setiap tahun jumlah petani susut rata-rata 1,75%. BPS menyebutkan, jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia turun 5,04 juta dari tahun 2003 yang sebesar 31,17 juta. Jika dihitung dalam satu dekade terakhir jumlah petani anjlok hingga 16%. Artinya, jumlah petani hingga kini tersisa sekitar 26,13 juta. Tren penurunan ini diperkirakan akan terus berlanjut sekiranya tak ada langkah efektif dan serius pemerintah. Sementara itu, agak absurd berharap banyak pada pemerintahan SBY mengingat signifikansi penurunan jumlah petani terjadi selama SBY berkuasa.

Secara nasional, penurunan jumlah petani tentu saja menyerempet banyak aspek. Terutama ekonomi dan stabilitas pangan di Indonesia. Saya sendiri tak mungkin membahasnya detail. Terlebih keterbatasan ilmu di bidang pertanian dan ekonomi. Juga tak akan membahas kehidupan ekonomi mereka yang memilih pensiun sebagai petani. Saya hanya akan membahas kasus yang mungkin sifatnya 'kasuistik', tak berlaku di tempat lain. Tulisan ini tidak memuat data, hanya pengamatan kecil dan berusaha menarik benang merah atas fenomena di atas.

Sebagai informasi awal. Saya lahir di sebuah kampung sederhana bagian utara Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kampung berpenduduk nyaris 100% petani dengan tingkat pendidikan rendah. Rata-rata tamat SD, yang buta aksara juga tak sedikit. Hingga awal 2000-an, tak sampai 10 orang yang menamatkan pendidikan sampai tingkat universitas. Sedih juga, tapi itulah kenyataannya. Kendala ekonomi dan orang tua yang parno dengan pendidikan tinggi - yang katanya berbiaya tinggi. Faktor terakhir ini lebih dominan sebenarnya. Lebih baik berhenti ketimbang menjual tanah warisan demi biaya sekolah.

Seiring berjalannya waktu, ditambah serbuan informasi - terutama dari TV - membuat persepsi warga kampung tentang pendidikan berubah. Fakta ini setidaknya bisa diamati sejak tahun 2005 hingga sekarang. Ditunjang kehidupan ekonomi yang semakin membaik karena peningkatan harga komoditas tani. Banyak orang tua mengirim anaknya kuliah di Makassar. Kabanyakan ilmu keguruan atau bidang kesehatan. Menggembirakan. Kendati tersimpan bahaya laten jika menaksir keberlangsungan profesi petani di masa depan. Berikut yang mungkin berguna sebagai bahan renungan.

Coba tanya satu orang anak petani, satu saja. Mau jadi apa jika dewasa kelak. Jawabannya mungkin macam-macam kecuali satu; jadi petani. Nyaris tak ada anak petani - dalam bayangan saya - yang mau mewarisi profesi orang tuanya, kecuali terpaksa atau dipaksa keadaan. Taruhlah 10 anak petani, semuanya bercita-cita berprofesi apa saja kecuali jadi petani. Mungkin hanya 1 atau 2 saja yang 'sial' dan akhirnya jadi petani, selebihnya tidak. Apa artinya, petani tak mewarisi petani baru - yang lebih muda. Akibatnya, lambat laun usia petani semakin tua dan hanya digantikan segelintir orang-orang sial yang jumlahnya lebih sedikit. Bagaimana 10 tahun ke depan, 20 atau 30 tahun? Tidak usah dijawab. Nah, itu yang pertama.

Tidak usah guru atau tenaga kesehatan, coba tanya sarjana pertanian yang rela jadi petani. Nyaris tak ada (bisa dicek lagi kebenarannya). Sulit ditemukan, pemuda lulusan pendidikan tinggi yang mau jadi petani, sekalipun dia anak seorang petani. Seringkali ini yang jadi pembenaran: sarjana pertanian tugasnya pada bagian manajemen pertanian, penyuluh, atau pengembangan bibit unggul. Bukan saya mencoba mendiskreditkan profesi "tanpa keringat" tersebut. Akan tetapi, aneh saja jika semua sarjana pertanian ogah mengayun cangkul, cemplungkan kaki di lumpur, dan merasakan gemburnya tanah ladang.

Akhirnya, lambat laun stigma bertani sebagai pekerjaan kasta rendah, kotor, dan hanya andalkan otot melekat sudah. Anggapan ini menggiring petani menjadi kaum inferior di antara profesi-profesi lain. Sekali waktu dalam pengumuman kelulusan siswa, ayah salah seorang siswa dipersilakan duduk di kursi terdepan oleh kepala sekolah. Dia bingung tak berani mengangkat muka dan memilih duduk di kursi belakang. Maklum, sebagai petani biasa dia tak terbiasa duduk di kursi terdepan yang dianggap "terhormat" dan hanya pantas ditempati pejabat atau mereka yang punya kuasa di pemerintahan. Intinya, dia malu dan tidak pantas karena merasa "lebih rendah". Di tempat lain, tak jarang kita melihat pemandangan serupa, di mana petani memilih duduk di pojokan karena merasa itulah tempat wajar bagi mereka. Miris.

Inferioritas petani memang sudah luas menggejala. Kehidupan royal masyarakat perkotaan yang nyaris tanpa petani dan pedesaan yang diisi kaum udik minus pengetahuan dan teknologi semakin menyudutkan petani. Di masa yang mungkin tak lama lagi, bertani adalah pemandangan langka. Hamparan sawah hanya menyisakan dongeng pengantar tidur. Alat pertanian tradisional ditaruh di museum karena tak ada lagi yang menggunakannya. Di kampung, boleh jadi di Indonesia juga, petani musnah digantikan mesin dan pekerja (bukan petani) di tanah pertanian perusahaan. Entahlah.

Bayangan saya - semoga tidak terjadi - suatu saat, petani kita menyerah pada zaman. Tua, perlahan mati bersama karat cangkul dan terkubur bersama hantu inferioritas. Semoga tidak!

Tidak ada komentar: