13 Maret 2011

Indonesia dan Budaya Latah

Masih segar di ingatan kita ketika tahun 2009, ratusan politisi karbitan (maaf) berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi Caleg (calon legislatif) DPRD II, DPRD, sampai DPR. Mudah-mudahan anda juga masih ingat, ketika pada tahun yang sama (2009,red) warkop (warung kopi) menjamur di Makassar. Bahkan peningkatannya mencapai ratusan persen dalam kurung waktu satu tahun. Pasti anda masih ingat (mungkin anda salah satu aktornya), ribuan sarjana berkumpul di kantor Pos, mendaftar CPNS. Padahal formasi CPNS kurang dari 1% dari pendaftar. Akhirnya bisnis calo pun menjadi tren guna memuluskan langkah menjadi CPNS. Mereka adalah SARJANA, Sayangnya. Saya tidak ingin menyalahkan mereka karena bisa saja saya juga akan seperti mereka nantinya. Saya hanya ingin menjelaskan fenomena yang sangat dekat dengan kita, tapi sering tidak disadari.

Saya sedikit kecewa ketika media sebagai lembaga kreatif malah menjadi ikut-ikutan. Tidak saya ingatkan pun, anda pasti ingat ketika Timnas Indonesia berhasil masuk di putaran Final piala AFF 2010. Semua media swasta menyorot Timnas di hampir semua program acara, bahkan di acara gosip pun, berita Timnas muncul, aneh. Hal-hal seperti ini kemudian tidak lagi menjadi aneh di mata masyarakat. Kalau penulis analisis, selain budaya batik, tari, dan lain-lain ternyata ada budaya yang sama sekali aneh, budaya latah (biasa saya sebut latah yang membudaya). Ini fenomena umum, mungkin ada masyarakat yang tidak terjangkit budaya ini, walaupun saya yakin jumlahnya tidak banyak. Maka, menjadi luculah negeri ini ketika latah pun dibudayakan.

Seperti yang saya ungkapkan di atas, dimana banyak sarjana yang berbondong-bondong mendaftar CPNS bahkan menjadi tren tiap tahun. Bung, ini sarjana, BUKAN anak ingusan! Siapa lagi kira-kira yang tidak latah? Padahal merekalah seharusnya yang kemudian kreatif. Pendidikan selama belasan tahun lebih dari cukup untuk membentuk manusia-manusia kreatif. Apa yang salah? Saya pikir, ini bukan kesalahan individu karena kebanyakan sarjana seperti itu. Ataukah sistem pendidikan yang harus dipersalahkan? Ini tidak fair, karena sistem pendidikan dijalankan oleh manusia. Artinya pendidik dan stakeholder terkait yang salah dong. Aduh, bisa repot kalau begini.

Masih tergambar samar ketika guru kelas saya mengajari membaca. Saat itu saya duduk di kelas I SD. “ayo anak-anak kita baca bersama, INI BUDI” ajak guru saya sambil menunjuk white board. Setiap diajari membaca, guru selalu mengucapkan kalimat yang kurang lebih sama. Akhirnya, nama BUDI pun melekat diingatan. Membaca, menulis, bahkan mengarang, selalu saja ada nama Budi. Kenapa bukan Sangkala, Baco, atau Becce. Sekilas ini sepele, tapi kenyataannya ini mengarahkan kita sejak awal untuk berfikir monoton, bahkan kaku. Hal ini terjadi bukan hanya di SD, sampai SMP, SMA, bahkan kuliah sekalipun.

Sudah saatnya budaya latah kita ubah. Walaupun, tidak mudah mewujudkannya. Status quo tidak akan berubah seperti membalikkan telapak tangan. Usaha untuk terus lebih baik jangan sampai terhenti. Semua stakeholder mestinya bekerja sama mengikis budaya latah yang menurut saya sudah sangat parah. Tidak ada maksud menyalahkan siapa pun, semoga kita berkaca kembali demi hidup yang lebih baik, semoga!

Tidak ada komentar: