13 April 2011

Hujan dan Istana Dg. Sampara

Langit tampak sangat gelap. Taburan bintang yang biasanya terhampar luas kini dipaksa bersembunyi di balik awan. Cuaca sedang tak bersahabat. Tanpa malu angin malam menusuk hingga ke tulang. Hujan baru saja reda setelah seharian langit menumpahkan isinya. Ruas jalan mulai dari trotoar bahkan badan jalan tak luput dari genangan air. Malam ini, jalan-jalan di makassar seakan menjadi "danau" dadakan yang terbentang panjang dan akan segera lenyap beberapa hari kemudian. Di balik jendela kamar saya hanya mengerutkan dahi sambil memantapkan diri untuk beranjak dari rumah. "Malam ini saya harus berangkat dan menuntaskan janji", kalimat yang kuucapkan beberapa kali sekedar untuk meyakinkan diri. Walaupun firasat akan hujan terus saja menghantui, sama sekali tak mengurungkan niat saya untuk bertarung dengan dinginnya malam. Mantel hujan serta Sweater sudah siap, saatnya berangkat menembus malam.

Benar saja, belum sampai di tempat tujuan, hujan deras tiba-tiba saja tumpah dari gelapnya langit. Seperti tamu yang nyelonong masuk rumah tanpa permisi. Si Cloudy kuarahkan ke bahu jalan tanpa menyalakan weser. Akh, ini jam 10 malam, jalan sudah sepi dan tidak akan ada yang bakalan nyerempet dari belakang. Secepat kilat saya turun dari Cloudy, mencari tempat berteduh. Jalan sudah tertutup butiran hujan, tentunya terlalu beresiko untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, saya memutuskan untuk berteduh sambil menghangatkan diri dengan melingkarkan tangan di tubuh.

"Masukki..." terdengar suara samar karena hujan dari balik kios.
Saya menoleh untuk memastikan bahwa suara itu ditujukan kepada saya.
"iye" jawabku singkat.
Karena tak tahan kedinginan di luar. Saya melangkahkan kaki memenuhi ajakan si pemilik kios. Sesaat saya ingin menanggalkan sepatu,
"nda usahmi dibuka. kita pakemi sepatuta!"
"oh, iye..."

Di sinilah awal mula perkenalanku dengan Dg. Sampara, lelaki paruh baya berumur sekitar 40-an tahun. Lelaki yang berprofesi sebagai pengayuh becak sekaligus penjual ikan. Pagi hari hingga menjelang senja beliau mengayuh becak dan di malam harinya menjajakan ikan di kios miliknya. Profesi ini beliau geluti selama 15 tahun terakhir. Ijazah SD tidak akan memberinya kesempatan hidup seperti "manusia" di kota metropolitan seperti Makassar.

Di dalam "istana" (kios, red) Dg. Sampara, saya duduk di meja berukuran 2x3 meter yang terbuat dari anyaman bambu. Belum lima menit, secangkir kopi hangat muncul dari balik tirai bersama dengan istri Dg. Sampara. Jamuan yang berlebihan mengingat saya hanya orang yang kebetulan singgah untuk berteduh. Apalagi, inilah perkenalan pertama saya dengan Dg. Sampara. Tidaka ada sedikit pun kecurigaan Dg. Sampara terhadap saya. Ketika saya bertanya seandainya saya berniat jahat, beliau hanya tersenyum simpul. "Untuk apa orang berbuat jahat, tidak ada yang bisa dirampok disini" tukas Dg. Sampara

"Kapitalisme meniscayakan kemiskinan" celoteh seorang teman. Ah, sudahlah! Itu cerita lama...

Tidak ada komentar: