24 April 2011

Konsumerisme; Penjara Global

Menurut Kamus Bahasa Indonsia, definisi konsumerisme adalah,
[n] (1) gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dng menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan; (2) paham atau gaya hidup yg menganggap barang-barang (mewah) sbg ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb; gaya hidup yg tidak hemat.
Teori ekonomi yang berulang kali saya dengar semasa SMA dulu adalah, pendapatan yang tinggi akan memicu peningkatan daya beli masyarakat, laju ekonomi akan tumbuh seiring dengan meningkatnya pendapatan. Di daerah terpencil, pertumbuhan ekonomi berjalan lambat disebabkan daya beli masyarakatnya yang rendah.

Teori tersebut merupakan semangat munculnya budaya komsumtif yang lazim disebut konsumerisme. Kemampuan untuk membeli barang yang banyak dianggap sebagai parameter kemakmuran. Sebenarnya teori in benar sampai pada taraf tertentu. Negara berkembang berusaha memenuhi kebutuhan primer (letak kemakmuran sebenarnya terletak pada taraf ketika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan primernya).

Namun, negara maju yang sudah mapan dengan kebutuhan primernya, akan memicu konsumerisme, yaitu pemenuhan kebutuhan estetik yang sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan. Pada fase ini, konsumerisme akan meningkat pesat seiring zaman.

Saya teringat dengan ucapan Bourdieu,
Pemenuhan kebutuhan estetik menunjukkan betapa naifnya kita bisa memilih keluar dari konsumerisme
Kebutuhan estetik akan berlandaskan pada; indah-jelek, menawan-kampungan, keren-basi. Siapa saja yang peduli dengan gaya hidup akan terkungkung pada konsumsi kompetitif. Sayangnya, kondisi inilah yang menimpa tidak hanya negara maju, tapi juga berhasil menyeret negara berkembang, seperti Indonesia.

Konsumen berlomba untuk "berbeda" dengan yang lain. Mereka ingin menjadi diri yang bersatus "lebih." Gadget terbaru, trend busana, fhasion, brand terkenal menjadi buruan konsumen. Mereka sebenarnya tidak benar-benar "butuh," hanya saja meeka ingin keluar dari predikat " orang awam". Keadaan ini berjalan terus menerus dan produsen akan terus merespon pasar sehingga hasrat "semu" masyarakat terpenuhi.

Akibatnya, timbul efek domino. Masyarakat kelas bawah, berusaha keluar dari "labelnya" dan kalangan atas terus berlari menjauh dari kejaran kalangan bawah. Mereka beranggapan akan bahagia jika berbeda dengan yang lain. Apabila hal tersebut tidak berhasil dipenuhi, muncullah "ketidak-bahagia-an akibat kebutuhan estetik tidak terpenuhi. Masalah ini banyak melanda dan telah menjadi syndrom. Kalangan atas akan membeli barang yang membedakannya dengan kalangan bawah, barang yang tentunya tidak bisa dibeli selain kalangannya sendiri demi "kebahagiaan semu."

Akhirnya, konsumerisme menjadi penjara global. Penjara yang menawarkan kebahagiaan "semu" sehingga penghuninya tidak sadar bahwa ia sedang terpenjara. Tidak hanya negara maju, melainkan negara berkembang juga ikut merasakannya. Apa cara terbaik untuk keluar dari penjara konsumerisme? Bourdieu punya resep ampuh, yaitu,
Jangan membeli karena penilaian estetik, itulah cara terbaik keluar dari penjara konsumerisme
 Pertanyaannya sekarang, adakah yang mau mengikuti resep Bourdieu? Akh, sayangnya.... 

Tidak ada komentar: