6 Juni 2011

Anas Urbaningrum, Target Utama Kasus Nazaruddin

Politik seperti yang diterangkan guru saya semasa duduk di bangku SMP dulu yaitu suatu upaya untuk meraih kekuasaan, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan tersebut. Secara normatif  definisi ini mensyaratkan, jika hendak bergelut di dunia politik, mestilah mempunyai power yang mumpuni. Seperti ungkapan populer, mempertahankan kekuasaan jauh lebih sulit daripada meraih kekuasaan. Lawan politik akan selalu awas da siap untuk menerkam jika sewaktu-waktu sang penguasa terlena dengan takhtanya. Oposisi adalah istilah bagi mereka yang menjadi lawan politik sang penguasa, biasanya berasal dari pihak yang kalah atau mereka yang tidak setuju dengan cara/sikap penguasa dalam menjalankan pemerintahan.  Patut diingat, pihak oposisi sangat jelas posisinya, semua orang tahu, karena umumnya telah 'mendeklarasikan diri' sebelumnya. Menurut penulis, oposisi jenis ini tidaklah begitu berbahaya lantaran gerakan mereka sudah jelas dan rakyat sudah tahu, yang akan mereka sampaikan akan berujung pada kritik atas pemerintah. Justru, yang paling berbahaya adalah lawan yang berwajah kawan, saya sebut 'oposisi oportunis'. Adalah mereka yang siap membadik sekiranya terdapat celah, "musuh dalam selimut" meminjam istilah lama. Bisa kita eksplorasi dan lihat bagaimana geliat 'oposisi oportunis' di Indonesia.

Bak sinetron berepisode panjang. Bedanya, Sinetron sampai kapan pun akhir ceritanya pasti bisa ditebak, sedangkan dalam politik banyak variabel yang berpengaruh sehingga akhir cerita mungkin tidak seperti yang diharapkan 'penonton'. Namun keduanya punya persamaan, masing-masing memainkan emosi 'penonton'. Pertarungan yang terjadi pun semata-mata demi 'penonton'.

Kali ini episode yang be-'rating' paling tinggi adalah Nazaruddin dan Partai Demokrat. Nazaruddin menjadi pemeran utama, dalangnya adalah media massa, oposisi, dan 'oposisi oportunis' tentunya. Sebelumnya, Angelina Sondakh diancang-ancang sebagai lakon utama, sayang kecantikan dan ketenaran gagal menaikkan 'rating'nya. Dia pun didepak dari peran utama dan digantikan oleh sosok muda yang namanya masih 'bau kencur' di mata khalayak. Masyarakat, termasuk penulis, yang cenderung untuk melihat pemberitaan sensasional menjadi sangat pas seiring dengan dimulainya episeode tersebut. Hasilnya cukup menakjubkan, Nazaruddin pun berhak menyandang gelar 'Norman II' sekaligus menggantikan Norman I yang sudah diendapkan entah dimana.

Analisa penulis, pertama: bagi partai lain (Selain Demokrat), kasus Nazaruddin bisa dijadikan pentungan besar untuk menjatuhkan eksistensi Demokrat. Hal ini bisa dipahami, kasus yang menimpa elit partai bisa dipastikan akan merusak citra partai. Yang perlu mereka lakukan (partai lain) adalah terus menyiapkan bahan bakar supaya 'nyala' kasus ini tetap terang, semakin lama bertahan akan semakin bagus. Inilah yang mereka harapkan. Tak terkecuali partai apa pun itu, koalisi maupun oposisi. Toh, tidak ada MuO sekiranya salah satu partai koalisi berbuntut kasus, yang lain akan turut serta membantu 'kawan'nya.

kedua: kasus ini sangat bisa dimanfaatkan sebagai adu kontes pembunuhan karakter tokoh tertentu. Nah, kalau ini dalangnya sudah macam-macam, lawan politik (jelas) sampai kawan sendiri. Anas Urbaningrum sepertinya paling tahu soal ini. Ketokohan Bung Anas (Anas Urbaningrum,red) yang cukup menjanjikan membuat mereka yang paling berkepentingan di pemilu 2014 kian resah. Pribadi yang dikenal cukup bersih serta sokongan partai besar menjadikan potensi Bung Anas untuk melanjutkan 'tradisi' pemerintahan Demokrat semakin kuat. 'Pemain lama', termasuk 'oposisi oportunis'  tidak akan sudi melihat hal ini. Nah, benang merah bisa ditarik dalam hal ini. Kasus Nazaruddin yang notabene pengurus teras Demokrat mau tidak mau akan ikut menyeret nama Bung Anas sebagai Pimpinan Demokrat. Skenario ini akan berujung selain 'penghancuran' Demokrat juga 'perusakan' citra Bung Anas. Itulah kenapa, bukan Bung Anas yang langsung mengeksekusi anggotanya, melainkan SBY sendiri yang turun tangan langsung. Terlalu riskan untuk membiarkan Bung Anas berkeliaran dengan situasi segenting ini. Meminjam istilah orang Makassar, 'awasko...banyak potong-potong leher diluar sana !!!

Episode kasus Nasaruddin sekali lagi tidak akan menguntungkan Demokrat. Semakin lama, dampaknya akan semakin buruk. Akan sangat baik jika SBY cepat meredakan dan mengalihkan isu ini (seperti yang biasa beliau lakukan).  Bagi Demokrat, moment 2014 terlalu indah untuk dilewatkan hanya karena kasus konyol Nazaruddin.

Ah, sudahlah kawan ini hanya omong kosong tentang politik...!!!

4 komentar:

Srie mengatakan...

Anas salah pilih orang, spt Nazarudin, Andi Nurpati, yg trnyata bermasalah bg dirinya....
Cukup buat lawan2nya untuk menggeser pendulum ke arah sebaliknya :http://blogguru-srie.blogspot.com/2011/05/kasus-nazarudin-blunder-politik.html

Tks. salam

Kasim Muhammad mengatakan...

Pertarungan besar menanti di 2014. Demokrat harus berani berjudi untuk melanggengkan kekuasaannya.

Jaringan politik Bung Anas juga patut diperhitungkan jika SBY berniat menggesernya...

salam...

Srie mengatakan...

Begitu suport banget ke AU.... hehehe.
Satu alumni HMI-kah ?

Tks. salam

Kasim Muhammad mengatakan...

hehe,..ngga juga sih, setidaknya msh ada harapan ketika melihat sosok AU...

kebetulan sy msih HMI, blum alumni...:D


salam kenal...