22 Juni 2011

Menggugat; Kenapa Harus Keren ?

Saya berani bertaruh, tidak ada seorang pun di antara kita yang tahu secara "pasti" defenisi "keren". Kata yang sering kita lekatkan pada sesuatu. Di setiap tempat ada saja kata "keren". Saking familiarnya, sampai sampai kita tidak tahu definisi sebenarnya. Dugaan saya, (walaupun sangat meragukan), "keren" hanya terdefinisikan ketika dilekatkan pada suatu objek. Seperti kata "tampan", hanya terdefinisi jika melekat pada objek. Tetapi "keren" dan "tampan" tidak bisa dianalogikan begitu saja, ada jurang besar yang membedakan keduanya.

Bagaimana kalau saya katakan:
Keren itu, naik mobil pribadi kampus.
Keren itu, punya Blackberry. BBM-an tiap hari, di kantin, ruang kuliah, koridor, pete-pete, bahkan di toilet.
Keren itu
, jalan ke mall, nonton di XXI, nongkrong di Pizza Hut, singgah di Solaria atau, ngumpul di KFC.
Keren itu, Jalan-jalan ke Bali, berjemur di Kuta Beach, nginap di hotel berbintang.
Keren itu, Memakai barang merk terkenal yang harganya selangit.
Keren itu, nongkrong di Inulvizta, Nav, Orange, atau tempat karaokean yang lain.
Keren itu, ber-ladies night di Redtro, Balleza, dll.
Keren itu
, menikmati lagu-lagu Lady Gaga, Maroon 5, Taylor Swift, Rihanna, BEP, Cold Play, dan sejumlah musisi barat lainnya.

Itulah keren. Jika ada yang mau menambahkan, silahkan.

Baik, saya mau memperlihatkan fakta unik terkait dengan ke-keren-an.
Tahu tidak, kenapa mall, bioskop, kafe n resto, Bali, hotel berbintang atau tempat "keren" lainnya jadi tempat favorit untuk berfoto? Hasil jepretan di simpan di PC, terus di upload ke Facebook atau twitter. Kenapa? Hanya untuk memperlihatkan, "ini loh saya, keren kan!".  Lain lagi dengan status facebook, "@Kuta beach, panasnya,..hufft", "@Trans studio bareng blablabla", "@XXI", "@Kampung Popsa, yummi...". Kenapa? Supaya orang tahu, "ini loh saya, keren kan!". Masih banyak hal "keren" yang tidak disebutkan. Tapi tujuannya satu, yaitu SAYA KEREN!

Kita ke pertanyaan selanjutnya, kenapa orang berlomba-lomba menjadi keren? Tidak rumit menjelaskannya. keren adalah prestise, mirip dengan gelar sarjana, doktor, atau professor (walaupun orientasinya berbeda). Sedikit saja orang bergelar professor dan gelar tersebut punya prestise wah di mata orang. Menjadi keren itu berbeda dan ekslusif. Keren berarti extraordinary. Orang ingin menunjukkan, bahwa "saya berbeda dengan anda!", "saya bisa meraih sesuatu yang anda tidak bisa capai!", "saya lebih baik dari anda!"

Siapa yang menciptakan budaya keren? Masyarakat itu sendiri yang komponen utamanya adalah individu! Tapi perlu diketahui, keren tidak muncul dengan sendirinya, butuh patron/standar ke-keren-an. Disinilah budaya komsumtif yang biasa disebut komsumerisme dipacu sekencang-kencangnya. Adapun kapitalisme berperan untuk menyediakan segala barang/jasa demi telaksananya budaya komsumtif. Tidak hanya itu, kapitalisme menetapkan patron keren dan tidak keren. Diciptakanlah idol-idol sebagai model yang 'keren'. Jadi, dalam hal ini bisa ditarik benang merah, masyarakat komsumtif yang rakus, kapitalisme memfasilitasi sekaligus menetapkan patron, dan masyarakat/individu sendiri sebagai client (pemakai). Terjadilah hubungan patron-client (tuan-hamba). Saya ambil contoh, Sejelek apa pun rambut Justin Beiber , fans akan tetap menyukai bahkan menirunya. Kenapa? Justin Beiber adalah patron (simbol) ke-keren-an, mengikutinya berarti menjadi keren juga.

Dengan dukungan komsumerisme, budaya keren akan tetap hidup seperti sebuah siklus. Apa yang anda sebut keren hari ini belum tentu berlaku di keesokan hari, begitu seterusnya. Tidak akan berakhir selama rantai yang menghubungkannya tidak terputus. Individu akan terkooptasi, mau tidak mau harus ikut. Pilihannya hanya dua, anda ikut atau menyingkir dari masyarakat atau bersemedi di gunung, sendirian! Saya yakin tidak ada seorang pun diantara kita yang rela menghabiskan hidupnya di gunung sendirian.

Sudahlah! Toh, akhirnya hidup adalah omong kosong[?]

Tidak ada komentar: