12 Juni 2011

Misi Kenabian dan Peradaban Ideal

Istilah nabi berasal dari Bahasa Arab nabiy berarti utusan (messenger) atau pembawa berita (prophet). Para nabi diutus (rasul) oleh Tuhan kepada manusia untuk menyampaikan pesan Tuhan, mengarahkan dan mengorganisasikan umat. Mereka datang untuk melepaskan belenggu yang mengikat manusia pada nafsu hewani, tuhan-tuhan palsu, dan berhala (idol). Nabi diberikan sifat khusus yang berbeda dengan masyarakat awam, disebut mukjizat, sekaligus untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Dalam sejarah kenabian, mereka diturunkan di tengah-tengah masyarakat untuk membimbing menuju jalan kebenaran. Sebagai utusan, Nabi bertugas memimpin manusia, mengelola dan menggerakkan manusia ke arah kehendak Tuhan dan demi kebaikan umat manusia. Walaupun Seorang Nabi diberi keistimewaan, kesempurnaan pribadi, dan ketidakcacatan, dia tidak lepas dari sifat kemanusiaan seperti makan, minum, berkeluarga, bahkan mati. Perbedaan mendasar Nabi dan manusia biasa terletak pada wahyu beserta tuntutannya. Wahyu sama sekali tidak membebaskan Nabi dari kehidupan masyarakat, tetapi menjadikan mereka teladan manusia sempurna bagi orang lain. Karena itu, Nabi diasosiasikan sebagai perintis dan pemimpin.

Misi seorang dapat dibagi menjadi 2 kategori, pertama: menyampaikan tahuhid, keesaan Tuhan (monoteisme individual). Bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah. Kedua: membangun peradaban dengan menancapkan pilar-pilar utamanya, yaitu keadilan dan kesederajatan manusia (monoteisme sosial). Kedua misi tersebut tidak terpisahkan dalam misi kenabian. Oleh karena itu, nabi yang tidak mampu membangun unsur monoteime serta peradaban ideal dalam msyarakat, dipastikan nabi tersebut palsu.

Karl Marx yang menuding agama (yang dibawa nabi) sebagai penghalang cita-cita ideal peradaban, komunisme. Menurutnya, agama, kapitalis, dan penguasa adalah biang kemelaratan kaum proletar. Bahkan Nabi digolongkan sebagai kelas penguasa oleh Marx. Untuk mencapai masyarakat ideal, kaum proletar harus melawan penindasan dan ketidakadilan dengan cara menumpas penghalang di atas. Dengan begitu lahirlah masyarakat tanpa kelas, tanpa penindasan, apalagi ketidakadilan. Jelas Marx tidak melihat kehidupan Nabi Muhammad selama menjalankan misi kenabian. Pandangan Marx yang materialistik tidak mampu melihat sisi lain dalam peradaban, yaitu spiritualisme.

Madinah (awalnya bernama yatsrib), tempat Nabi Muhammad membangun peradaban disulap menjadi 'surga duniawi' bagi masyarakat, termasuk non-Muslim. Tidak ada alasan untuk membantah fakta ini. Sepanjang sejarah manusia, ketauhidan dan peradaban ideal diramu menjadi satu. Jauh melampaui cita-cita Marx.

Menengok era globalisasi, nilai-nilai luhur peradaban selama masa kenabian mutlak untuk dicontoh. Sangat jelas dalam Al-Quran, bahwa nilai-nilai peradaban yang termaktub dalam agama menjadi lawan terhadap ketidakadilan dan segala bentuk penindasan. Mengapa harus nilai? Kondisi di masa Nabi jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Cara dan pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan konteks dan bentuk masyarakat kekinian. Jadi, satu-satunya yang bisa diterapkan adalah nilai-nilai luhurnya. Nilai bersifat universal dan tidak temporer sehingga masa berlakunya adalah sepanjang sejarah manusia, termasuk sekarang dan di masa depan.

Wallahu a'lam bishawab

Tidak ada komentar: