30 Juni 2011

Murtadha Muthahhari; Ulama yang intelektual

Allamah Syahid Murtadha Muthahhari (1919-1979) Ulama Islam kontemporer terkemuka lahir di Khurasan dari keluarga Saleh. Ayahnya, Muhammad Husein Muthahhari, seorang alim yang sangat disegani. Pada Usia 12 tahun, Muthahhari kecil berangkat ke Qum, Iran, untuk belajar di bawah bimbingan langsung Ayatullah Boroujerdi dan Khomeini. Kuatnya ikatan batin Ayatullah Khomeini dengan sang murid, karenanya ketika Muthahhari wafat beliau berpidato dengan wajah sembab dipenuhi air mata "...Saya kehilangan seorang putra yang sangat tercinta dan berduka cita atas perginya seseorang salah satu tokoh hasil dari buah hidup saya". Selain kedua ayatullah di atas, Muthahhari juga belajar filsafat dari Allamah Thabathabai. Guru yang secara mendalam kenal dengan filsafat barat, dari aristoteles hingga Sartre.  Tulisan Sigmund Freud, Bertrand russel, Erich Fromm, Albert Einsten, dan sejumlah pemikir barat lainnya ditelaah secara mendalam oleh Muthahhari. Berbeda dengan kebanyakan pemikir Islam yang mengecap pemikiran barat kemudian bersuara lantang atas nama Islam padahal isinya barat dan menjadikan Islam sekedar lips belaka, Muthahhari mampu mengurai Islam menyentuh substansi.

Ciri yang sangat khas Muthahhari adalah pembahasannya yang padat dan berisi. Senantiasa menjadi pemantik yang siap berkobar, menghangatkan peradaban. Menjelaskan, bukan menghukumi. Beliau tahu betul bagaimana "mengkanter" dominasi pemikiran barat atas dunia, termasuk dunia Islam. Penjelasannya mengalir, mencerahkan, membangun, mengkonstruksi, dan mampu menyisihkan pemikiran barat menjadi catatan kaki tulisannya. Jarang dan sangat langka ada ulama yang fasih dalam Islam sekaligus piawai dngan barat. Tulisannya bagaikan mozaik yang terhampar indah berisi keutamaan Islam atas peradaban.

Ulama pada umumnya identik dengan mushalla, mesjid, khutbah, dll yang menggaransikan ketenangan hidup. Tetapi, beliau memilih badai daripada damai, meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat. Muthahhari aktif berdakwah dan menulis. Tiran Dinasti Shah tidak membuatnya tenang untuk tetap berdiam diri di mesjid. Beliau turun langsung, di radio suaranya terdengar, di depan pemuda beliau menyuarakan perlawanan terhadap bentuk penindasan. Bersama Ali syariati, beliau mengarsiteki Revolusi Iran. Sebuah revolusi yang membuat cemburu kaum Marxisme. Jika saja Karl Marx masih hidup, mungkin dia akan meminta petuah pada beliau dan segera meralat pernyataan "agama adalah candu". Pantas dikatakan,  jika Syariati adalah intelektual yang ulama, maka Murtadha Muthahhari adalah ulama yang intelektual.

Yah, Muthahhari memang tidak pernah akrab dengan tiran Dinasti Shah. Berulang kali diasingkan, masuk penjara. Tetapi pria bercambang ini tidak pernah menyerah. Malah, suaranya makin nyaring terdengar di depan ribuan pemuda Iran. Hingga revolusi meletus, beliau memimpin langsung ulama dan menjadi anggota Dewan Revolusi. Akibatnya, beliau dipandang oleh barat sebagai fundamentalis fanatik. Hal ini bisa dimaklumi, Revolusi Iran jelas-jelas mengakhiri kemesraan barat dengan Iran selama ini. Mereka tidak ingin melihat negara dunia ketiga yang kaya minyak tersebut mandiri apalagi melawan. Tapi kebencian rakyat Iran meluap, membakar puing-puing kemesraaan dan barat sampai tidak tersisa sedikit pun. Tidak peduli dengan embargo di sana-sini. Toh, Iran tetap kokoh sampai sekarang dan menjadi negara dunia ketiga yang tidak mempunyai utang, satu-satunya! Tapi di negara kita, sepertinya itu hanya mimpi. Seandainya saja...

Latar belakang Negara Iran yang Syiah, kelompok Islam minoritas yang berjumlah kurang dari seperempat pemeluk Islam di dunia, tetap menimbulkan kecurigaan. Banyak ulama mengendus-endus kejelekan Syiah, kalau tidak menganggapnya aliran sesat. Begitu juga dengan Muthahhari, tidak jarang label fanatik, fundamental, sesat, reaksioner, dialamatkan pada beliau. Malah ada sebuah blog yang khusus memperingatkan bahaya membaca buku-buku beliau, blog berbahasa Indonesia. Saya yakin, admin blog tersebut tidak pernah membaca sedikit pun karya beliau. Inilah yang disebut Muthahhari, "...Agama suci ini dicederai oleh orang-orang yang mengaku pendukungnya. Di satu pihak, serbuan penjajahan barat dengan kekuatan-kekuatannya yang tampak dan tidak tampak dan di lain pihak kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan kebanyakan orang yang mengaku pendukung Islam dalam abad kita ini, yang menyebabkan pemikiran-pemikiran Islam diserang dari segala pihak, dari prinsip-prinsip sampai pada praktik-praktiknya...". Islam mendapat pukulan telak dari pendukungnya sendiri yang bertindak dibawah panji agama. Itulah yang marak terjadi, termasuk di Indonesia. Muthahhari melanjutkan dengan bahasanya yang khas, "...Itulah sebabnya saya merasa berkewajiban untuk menjelaskan isu-isu ini sejelas mungkin".

Awal Mei 1979 Ulama besar itu, Allamah Syahid Murtadha Muthahhari, wafat dengan hujanan peluru yang bersarang di tubuh tuanya. Belum sempat beliau menikmati hasil jerih payahnya. Pantaslah jika Jalaluddin rakhmat menggambarkan kehidupan beliau dalam tiga babakan, "Sejarah hidup Murtadha Muthahhari dapat disingkatkan tiga kalimat saja: Ia lahir. ia berjihad. Ia syahid".
  

2 komentar:

lina@news for us mengatakan...

Terima kasih telah berbagi otobiografi tentang Beliau...

Anonim mengatakan...

mantabbb