5 November 2011

November

Adzan subuh berkumandang, membelah rimbunan pohon yang baru saja diguyur hujan lebat. Konon katanya, kala itu pertengahan bulan November 1987, bertepatan dengan hari pertama saya menjejakkan kaki di dunia ini. Seorang bayi berjenis kelamin laki-laki lahir dari rahim ibu saya. Jenis kelamin yang tidak dinantikan, karena sebenarnya kedua orangtua saya berharap anak keduanya berkelamin perempuan. Hiks.

Orang tua saya meyakini satu hal: anak keduanya, saya, lahir pada kamis subuh. Itulah mengapa saya katakan "konon katanya", karena berdasarkan kelender Masehi, tanggal 15 November 1987 jatuh pada hari Minggu. Sudah saya cek berkali-kali dan hasilnya tetap sama, bahwa tanggal tersebut bertepatan pada hari Minggu, bukannya hari Kamis. Sampai saat ini, saya juga meyakini hal yang sama, bahwa saya lahir pada kamis subuh, entah tanggal dan tahun berapa. Juga karena tidak ada bukti lain mengenai tanggal kelahiran tersebut kecuali ingatan kedua orang tua. Itu pula yang menjadi alasan mengapa tidak pernah merayakan ulang tahun di sepanjang saya hidup di dunia ini. 15 November bukan tanggal kelahiran saya!

Di kampung kami, dulu, tanggal lahir adalah persoalan remeh-temeh. Tidak diperuntukkan bagi kami yang tinggal jauh di desa. Tanggal lahir adalah urusan orang pintar yang berpendidikan tinggi. Kalau ditanya umur anak-anak mereka, jawabannya pasti panjang. Kurang lebih jawabannya seperti ini, "Si A lahir di bulan syaban, dua tahun lebih muda dari kakaknya, satu tahun lebih tua dari sepupunya, dan seterusnya". Jadi, ketika salah satu anak mereka melanjutkan pendidikan, dimana tanggal lahir mesti dicantumkan, maka mereka akan meminta guru untuk "menentukan" tanggal lahir anak muridnya sendiri. Saya sendiri baru tahu kalau saya lahir di bulan November ketika duduk di bangku kelas 6 SD. Tahukah kawan, "Bulan November" adalah hasil diskusi antara guru dengan kedua orang tua saya. Ajaib kan!

Sekali waktu saya komplain, mengapa tanggal, bulan, dan tahun lahir tidak sesuai dengan hari ketika saya lahir. Jawaban kedua orang tua sederhana, katanya, saya lahir kamis subuh, saat frekuensi hujan mulai meninggi di kampung kami, kala petani mulai membajak sawahnya, saat semangat kehidupan warga kampung memuncak setelah lesu akibat musim kemarau. Dan kamu tahu, nak, kata bapak, hal tersebut terjadi di Bulan November saja. Entah benar atau tidak, tapi sejak saat itu saya tak pernah lagi menanyakannya.

Tingkat pendidikan adalah penyebab lain kenapa tanggal tak penting bagi kami, terutama bapak ibu saya. Kedua orang tua saya berpendidikan rendah. Tapi tunnggu, sebenarnya agak risih juga kalau mereka disebut "berpendidikan" - meskipun rendah. Musababnya, mereka berdua tidak punya ijazah sama sekali. Hanya bapak yang paham baca tulis, sedang ibu saya tragis; buta huruf. Kedua orang tua saya berprofesi sebagai petani, dan saya percaya, tidak butuh ijazah untuk menguasai ilmu membajak sawah.

Saya selalu bingung setiap kali diperhadapkan dengan  blanko, formulir, atau semacamnya yang meminta data pendidikan orang tua. Saya harus mengisinya dengan apa? Sedangkan option "tidak berpendidikan" tidak tersedia. Karena persoalan gengsi, saya isi saja "tamat SLTA". Untungnya, tidak pernah ada yang mengklarifikasi langsung kepada kedua orang tua saya. Urusannya bisa panjang.

Meskipun "tidak berpendidikan", kedua orang tua saya tahu betul bagaimana filosofi pendidikan. Terutama bapak, beliau selalu mengajarkan bagaimana adab menuntut ilmu. Sampai saat ini, meskipun beliau sudah tidak ada (semoga tenang di sisiNya), pesannya selalu saya ingat. dan menjadi energi besar yang siap melecut semangat.

Syukurlah karena orang tua saya memilih Bulan November sebagai bulan dimana saya lahir. Saya suka November. Lovely November...:D

Tidak ada komentar: