16 November 2011

Mahasiswa, Seks, dan Tawuran

Mahasiswa. Sebutan untuk anak muda hebat yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ilmu yang rumitnya tidak ketulungan. Anak muda yang setiap harinya bertatap muka dengan dosen berotak sempurna, bergelar professor. Anak muda yang bertarung dengan textbook tebal. Setebal 3 susun bata merah. Namanya saja anak muda hebat. Mereka bisa beradu pendapat dengan sang professor. Melumat buku tebal kemudian ditelan dan dicernanya mentah-mentah. Hebat betul. 

Tunggu dulu kawan. Masih ada yang belum kuceritakan. Bahkan masih banyak malah. Anak muda punya banyak energi. Begitu juga mahasiswa. Energi yang mereka miliki lebih besar dari energi yang tersimpan dalam reaktor nuklir. Sayang, energinya punya dua sisi yang bertolak belakang. Tepatnya, Energi bermata dua, mau digunakan untuk apa pun, tergantung si empunya. Bisa digunakan untuk membedah ilmu pengetahuan sampai akar terdalam. Juga bisa memporak-porandakan apa yang dilaluinya. Pilih yang mana? Sekali lagi, tergantung si empunya.

Hidup sebagai mahasiswa. Dimana libido, birahi anak muda memuncak. Membawa energi besar yang tidak  terpuaskan. Tidak jarang, nafsu birahi yang tinggi dilampiaskan pada sesama mahasiswa. Bermain syahwat. Tengoklah wilayah sekitar kampus yang dihuni banyak mahasiswa. Naudzubillah. Tidak jarang transaksi seks hanya bermodal kata-kata. Janji. Komitmen. Populer disebut pacaran. Sekalipun bapak/ibu kost melarang, transaksi tetap berjalan. Toh, mahasiswa adalah anak muda cerdas yang bisa "menguliahi" siapa saja. Mereka bukan binatang yang berakal mini, mereka manusia cerdas yang bisa mencari jalan dimana saja. Tentunya tidak semua semua mahasiswa melakukan hal demikian. Banyak juga mahasiswa baik-baik. Akan tetapi, tetap saja, mahasiswa dan seks adalah dua sisi koin yang saling bertautan.

Belum lagi soal berkelahi. Tidak, mereka tidak berkelahi. Mereka hanya tawuran. Harap dibedakan antara berkelahi dengan tawuran. Berkelahi adalah single (satu lawan satu), sedangkan tawuran adalah saling melempar dan melibatkan banyak orang. Soal yang satu ini (tawuran red) mahasiswa adalah ikon utama. Sepertinya, energi yang tidak terserap dengan baik di ruang kuliah atau organisasi disalurkan lewat adu kekuatan lengan. Kekuatan melempar batu sejauh dan sebanyak-banyaknya. Di beberapa kampus, tawuran adalah ritual tahunan. Tradisi yang turun temurun dilangsungkan dan menjadi bahan pembicaraan lintas generasi. Yang tawurannya paling seru akan mendapat pujian.

Baru saja saya menyaksikan bagaimana adu otot lewat lemparan batu dipertontonkan mahasiswa. Sebuah universitas di Makassar yang konon terbesar di Indonesia Timur. Dimana mahasiswanya baru saja membuat acara. Acara tawuran. Asyik yah, acara tawuran. Terdengar lebih keren. Tidak kurang dari 2000-an mahasiwa terlibat dalam kejadian tersebut. Gedung dan motor dibakar, bom molotov terbang di sana-sini. Seperti biasa, kejadian tersebut disorot media. "Lihat!Kami semua masuk TV dan besok akan dimuat di koran" kata seorang peserta tawuran. Dia lupa kalau kampusnya sedang menangis. Menangis darah. Nama baik kampus rusak seketika untuk kesekian kalinya hanya karena acara bodoh. 

Entah apa di benak mereka. Kebanggaan? Terlalu naif. Pamer otot lengan? Bukan kampus tempatnya. Balas dendam? Terlalu picik kawan. Jadi apa? Entahlah. Setiap kali saya tanya teman-teman yang ikut tawuran, jawaban mereka enteng saja, "Sudah lama tidak olahraga". Ya ya ya...!

Awalnya saya ragu melihat judul tulisan ini. Mahasiswa, seks, dan tawuran. Bagaimana tidak, status suci mahasiswa disandingkan begitu rendahnya. Disandingkan dengan cap buruk seks ala mahasiwa beserta tradisi tawurannya. "Kesucian "mahasiswa" tercemari saat bersentuhan dengan realitas". Begitu kata seorang kawan. "Tidak ada cara lain, kecuali medudukkan kembali "mahasiwa" di tahtanya sebagai penguasa ilmu, insan cita nan mulia" lanjut kawan saya. Jadi apalagi? Sekarang, tidaklah perlu saya risih dengan judul tersebut. Hitung-hitung bisa jadi pemantik semangat. Dan begitulah harapan saya. Bahwa tugas kita sebagai mahasiswa saat ini adalah mengembalikan status mahasiswa sebagaimana mestinya. Sebagai intelektual yang tahu membedakan benar dan salah, baik dan buruk.


Teruntuk anak muda yang peduli akan kehidupan yang lebih bermartabat. Y A K U S A...