17 Januari 2012

Simpati Jadi Antipati

Matahari meninggi tepat di atas ubun-ubun. Bayangan benda yang disinari tepat jatuh di bawahnya, vertikal. Tidak seperti biasanya mengingat bulan ini adalah puncak musim penghujan. Di daerah tropis seperti Indonesia, Januari tidak pernah lepas dari guyuran hujan. Hampir setiap hari.  Di hari yang berbeda ini, arus lalu lintas sangat padat. Kehidupan masyarakat lebih cepat. Kendaraan melintas, lalu-lalang memanfaatkan kesempatan "mumpun tidak hujan".

Hari itu, pemandangan lain di sebuah perempatan jalan. Sekelompok orang memampang spaduk protes. Di antara mereka ada yang membawa bendera organisasi berukuran mini. Tidak peduli dengan bau aspal menusuk hidung dan terik matahari yang membakar kulit. Katanya mereka adalah mahasiswa. Mahasiswa yang resah dengan kebijakan pemerintah. Pilihan turun ke jalan dipilih sebagai bentuk protes. Berharap pemerintah menganulir atau setidaknya mengubah kebijakannya. Pemandangan seperti ini kerap terjadi, hampir setiap hari. Tentunya di sudut jalan yang lain. Dibantu dengan megaphone, mereka berteriak tidak peduli. Teriakan yang diselingi dengan sumpah serapah.

Aksi mahasiswa tersebut berhasil memacetkan jalan. Kendaraan yang sangat padat berderet rapih hingga ratusan meter. Bagaimana tidak, di tengah jalan berdiri pagar hidup yang bernama mahasiswa. Hampir seluruh badan jalan tertutupi hingga tidak ada yang tersisa bagi kendaraan untuk lewat. Sekali lagi, pemandangan seperti ini sudah lumrah, sering terjadi acap kali aksi mahasiswa dilakukan. Ketika aksi, mahasiswa menjadi penguasa jalan.

Di atas kendaraan yang berderet itu, di balik kaca bening mobil pete-pete, beberapa orang juga mengumpat. Namun, berbeda dengan mahasiswa yang mengumpat kebobrokan pemerintah. Mereka -orang-orang itu- malah berbalik menggerutu melihat sikap pongah para mahasiswa. Letak dilematisnya berada pada titik ini, dimana mahasiswa yang memperjuangkan nasib rakyat malah dibenci oleh orang-orang yang diperjuangkannya sendiri. Paradoks dan kontradiktif.

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh mahasiswa dalam memperjuangkan rakyat? Haruskah mereka terus turun ke jalan setiap kali menyampaikan aspirasi rakyat? Saya takut, aksi yang berharap simpati malah berbuah antipati dari masyarakat sendiri. Jika demikian -dan memang demikian-, aksi mahasiswa menjadi sia-sia. "Jauh panggang dari api" alias nihil.

Akhir-akhir ini saya mulai berpikir, ada sistem dalam pergerakan mahasiswa yang salah. Gerakan cenderung monoton, elitis, dan tidak "berperikerayatan". Slogan "mahasiswa dan rakyat bersatulah!" yang sering diteriakkan itu tidak lagi relevan pada tataran implementasi. Mesti dilakukan refleksi guna mengevaluasi kembali gerakan mahasiswa hari ini agar perjuangan mahasiswa tidak berbenturan dengan kepentingan rakyat. Kurikulum gerakan mahasiswa mesti di reform guna mengubah paradigma lama menjadi paradigma yang lebih progresif, fleksibel, dan "ngonteks" dengan zaman. 

Salam Perjuangan...!

Tidak ada komentar: