8 Agustus 2014

Potret dari Sudut Jendela Pesawat

Minggu pagi. Derit suara sumbang alarm memekakan telinga. Memaksa tubuh beranjak dari kasur. Tangan merayap mencoba menggapai asal bunyi, tapi gagal. Belajar dari pengalaman, alarm sengaja ditempatkan dari tempat yang tak terjangkau tangan. Hanya dengan begitu, alarm dapat berfungsi sebagaimana mestinya: membangunkan tuannya! Otak setengah sadar berusaha mengingat kenapa saya setting alarm di pagi buta, di hari libur yang semestinya menyenangkan ini. Oh, saya ada jadwal penerbangan pagi dan harus tiba di Bandara paling lambat 1 jam sebelum boarding time.

Gosok gigi dengan mata terkantuk, lalu mandi sambil mengutuki air yang begitu dingin. Mata dan otak pulih 100% setelah tersapu guyuran air dari pancuran. Sejam kemudian, saya tiba di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Setengah jam lebih cepat dari yang diperkirakan. Jalan poros Makassar bersahabat pagi ini, tidak macet seperti hari lainnya. Di bandara, check in lalu menepi di sudut kedai kopi. Menghibur diri dengan secangkir kopi Toraja. Puji Tuhan, hari mendadak indah.

Pesawat take off tepat pukul 11.30. Gemuruh mesin membelah landasan pacu. Mulut saya komat-kamit, berharap semoga bisa memberi tenaga tambahan agar besi terbang bisa meluncur mendongak sempurna, menerbangkan kami para penumpang. Entah doa itu berguna atau tidak, yang penting berdoa. Itu cukup. Saya duduk di deret kedua setelah jendela evakuasi, bagian dimana sayap pesawat menjulur keluar. Ibarat tubuh, saya berada tepat di pangkal lengan.

Pesawat semakin tinggi. Menembus gumpalan awan yang berlapis-lapis. Tak berapa lama pengumuman boleh melepas sabuk pengaman, tanda ketinggian mencapai titik ideal, pesawat kini berada di jalurnya. Saya duduk di seat kanan paling luar dengan maksud tertentu. Sengaja check in lebih awal agar bisa memilih kursi terluar. Dengan konsekuensi, sebisa mungkin saya tidak ke toilet pesawat agar penumpang di samping saya tidak terganggu. Triknya; kurangi minum air putih, apalagi sehabis ngopi, respon fisiologis tubuh memaksa kita ke 'belakang' lebih sering. Alhasil, lancar sepanjang perjalanan tanpa harus ke toilet sekali pun.

Jendela tak saya tutup. Di luar terlihat cerah. Sesekali gumpalan awan terpecah oleh sayap pesawat. Dari tempat saya duduk, awan seperti kapas beterbangan, berirama membentuk formasi yang teratur seperti kasur. Kasur yang sangat luas. Langit sedang biru-birunya, awan tipis memanjang menambah indah pemandangan. Saya meraih handphone dari tas kecil, lalu memotret dari sudut jendela, berkali-kali. Tak perlu mengatur angle, karena semua jepretan terlihat bagus. Tak perlu fotografer handal untuk mengasilkan foto terbaik dari atas pesawat.

***
Memotret dari balik jendela pesawat menjadi kebiasaan rutin akhir-akhir ini. Bukan hanya karena pemandangan indah, ada sesuatu yang lebih dalam dan bermakna. Foto hasil jepretan seperti konklusi, kesimpulan kecil atas perjalanan hidup saya. Saya membayangkan, gumpalan awan adalah usaha dan doa semua orang. Bahwa saya berada di balik jendela pesawat karena ikhtiar serta doa yang panjang, terus menerus dari saya sendiri, orang tua, keluarga dan teman-teman yang lain. Saya masih dalam perjalanan, itulah mengapa saya menyebutnya sebagai kesimpulan kecil. Dan di sinilah saya berada, di balik jendela Garuda.

Jika saya mengingat kembali kondisi keluarga, lingkungan masa kecil, mengabadikan gambar dari pesawat adalah mimpi di pagi buta. Mimpi buta. Mengarapkan kemampuan ekonomi orang tua, injak bandara saja sudah mewah. Ibu saya tertawa geli karena waktu kecil saya menjerit ketakutan kala mendengar suara pesawat terbang. Dia tertawa sambil menitikan air mata, mungkin terharu sekaligus bangga, anaknya kini bersahabat dengan awan, melintasi langit berkali-kali. Setelah tertawa, dia kembali mengulang pesan yang ribuan kali saya dengar; baik-baiklah dengan orang, dengan begitu orang akan akan menghargaimu, meskipun kau tidak kaya. Hanya itu. Dia tak punya basa-basi yang lain.

Sadar bahwa saya tidak punya banyak kelebihan (kecuali berat badan, mungkin) dibanding orang-orang di sekitar saya. Termasuk di dunia baru saya; tempat kerja. Beruntungnya, pengamatan sejauh ini, rekan kerja saya adalah orang-orang baik. Manusia-manusia yang penuh dedikasi dalam bekerja. Saya mesti bertindak, juga dengan menunjukkan yang terbaik, sekuat tenaga dengan segala kemampuan sebagai ungkapan syukur. Karena sejatinya bersyukur adalah dengan bertindak.

Pada akhirnya, saya percaya, tak ada kejutan berarti dalam hidup. Prinsip hidup tetaplah sama; semua soal kepantasan. Selebihnya, hanya kebetulan tak berarti (orang menyebutnya keberuntungan). Itulah mengapa, saya malas mendengar celoteh motivator atau membaca buku motivasi, keduanya membuat hidup terdengar begitu rumit. Tapi yah kembali lagi, lain orang lain pendapat dan begitulah cara saya memandang hidup. Life must go on dan saya akan terus memotret dari sudut jendela pesawat. Insha Allah...

Tidak ada komentar: