17 Agustus 2014

Merdeka dalam Maya, Sunyi Di Dunia Nyata

Minggu pagi. Jalan poros kota Gorontalo tampak lengang. Tidak seperti hari lain, kali ini tak ada lalu lalang kendaraan. Di Traffic light, 2 orang Polantas mematung, menatap bosan. Tak ada tumpukan kendaraan. Tak ada yang perlu ditertibkan. Di ujung jalan, di perempatan Rumah jabatan Gubernur, Satpol PP sibuk mengatur kendaraan dinas yang hendak parkir. Pagi ini, tepat tanggal 17 Agustus 2014. Hari kemerdekaan Indonesia ke-69. Pegawai Negeri tumpah di lapangan Taruna, mengikuti acara tahunan; Upacara. Kegiatan yang berbuah hukuman kalau tak diikuti. Itu saja, selebihnya hanya basa-basi.

Aku membelokkan motor ke arah Kantor. Jam tangan menunjuk angka 06.55. Upacara kemerdekaan yang dijadwalkan tepat 07.00 sesuai perintah Direktur Utama. Tiba di kantor, aku dimandat sebagai pembaca doa. Meski sudah kutolak dengan alasan intonasi suaraku tak cocok membacakan doa. Tak mengharukan, tak meyakinkan. Lagipula, seumur hidup aku tak punya pengalaman baca doa pada upacara formal seperti ini. Tapi tetap saja, aku didaulat menjalankan tugas itu. Langsung kuminta teks doa, membacanya berulang kali agar bisa kulafalkan dengan baik.

Seperti dugaanku, upacara baru dimulai tepat 07.15. Telat 15 dari jadwal. Tak apa, kita patut bangga, itulah salah satu ciri kita sebagai Bangsa Indonesia. Justru aneh kalau acara dilangsungkan tepat waktu. Upacara dimulai, komandan memberi aba-aba. Aku berdiri di barisan petugas upacara. Mendengarkan secara seksama arahan Direktur Umum yang dibacakan oleh kepala Cabang, ada rasa yang tersentuh. Membayangkan tempatku menapak kaki, Indonesia berumur 69 tahun, aku ditugaskan menjadi bagian dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa. Aku diberi amanah untuk mengabdi, menjadi sekrup kecil dalam gerbong raksasa. Ada semacam tunas, tekad yang tumbuh dari hati bahwa tanggung jawab sedang aku pikul. Tetap berusaha memberi manfaat meski tak seberapa besar. Dan yang aku bicarakan bukan klise semata!

Upacara usai, barisan bubar. Foto bersama dan sedikit basa-basi, lalu pulang. Melanjutkan tidur, mungkin. Kemerdekaan selesai!

Aku pulang. Mengayuh motor butut. Menyusuri jalan berbeda. Musababnya, sebelum beranjak pulang, muncul ide untuk melihat seberapa antusias warga Gorontalo menyambut Dirgahayu Indonesia. Tujuan pertama, Lapangan Taruna, tempat Pemerintah Provinsi Gorontalo beserta jajarannya melangsungkan upacara kemerdekaan. Hendak masuk melihat lebih dekat, sayang tak diijinkan. lalu aku membelokkan motor ke arah jalan lain, berharap bisa menemukan celah. Tetap tidak bisa. Semua kendaraan dialihkan ke jalur lain. Provost tampak kokoh berdiri tengah jalan, tanda tak sembarang orang bisa menembus area yang dijaganya. Kecewa. Upacara meskipun cuma seremoni, tapi tak dirayakan bersama masyarakat. Minimal, warga sekitar. Ekslusif dan elitis seperti tahun-tahun sebelumnya.

08.15. Aku beranjak, melanjutkan perjalan. Bukan pulang! Aku melewati perempatan, belok lalu belok lagi. Jalanan Sunyi. Nyaris tak ada aktivitas warga. Sesekali berpapasan dengan bentor (becak-motor), yang juga kosong melompong tak ada penumpang. Tak ada tanda atau sisa perayaan. Hanya umbul-umbul yang berdiri setengah hati di pinggir jalan utama. Dalam hati, inilah potret sebagian besar kita. Merayakan sekedar basa-basi -atau karena takut kena hukuman dari atasan. Upacara semu yang hanya boleh diikuti -dirayakan- oleh Aparatur negara. Akhirnya, rakyat memilih untuk tidak berbasa-basi; tak merayakan kemerdekaan bangsanya! Lagi pula, merayakan kemerdekaan tak berpengaruh pada kepulan asap dapur sebagian besar warga. Mungkin demikian. Mungkin.

Tak butuh waktu lama untuk mengelilingi jalan utama -dan lorong- Kota Gorontalo. Juga tak semua sudut kota aku kunjungi, tak ada gunanya. Toh, yang kulalui sudah cukup representatif untuk menggambarkan perayaan yang tak dirayakan itu-Kemerdekaan Indonesia yang ke-69. Aku pulang. Tiba di rumah, melepaskan seragam kantor yang tak sempat dicuci lagi karena harus digunakan esok. Kaget, ada banyak notifikasi di Smartphone. Notifikasi dengan tema yang sama; Perayaan Kemerdekaan Indonesia. Ternyata perayaan sunyi yang baru saja aku lewati, tidak berlaku di dunia maya. Sosial media mengekspresikan Dirgahayu Indonesia begitu riuh dan antusias. Foto, status, dll betebaran. Oh, mungkin nanti, momen penting bangsa ini tak perlu dilangsungkan di lapangan, jalan, atau... di dunia nyata. Cukup dijepret, ditulis, lalu diposting di media sosial. Merdeka dalam maya, sunyi di dunia nyata.

Dirgahayu Indonesia. Merdeka. Merdeka. Merdeka!!!
Gorontalo, 17 Agustus 2014

Tidak ada komentar: