9 November 2023

Pulang Kampung

Tradisi pulang kampung selalu spesial bagi sebagian besar orang, termasuk saya pribadi. 19 tahun berlalu sejak saya untuk pertama kalinya meninggalkan kampung untuk menempuh pendidikan, pulang kampung selalu istimewa dan memberikan kesan tersendiri. Meskipun perjalanan merantau kala itu tidaklah begitu jauh, tetap saja momen pulang setiap 1 atau 2 minggu sekali adalah peristiwa yang dirindukan dan selalu dinanti. Bahkan ketika perjalanan pulang tidak sederhana dan mudah lagi (berbayar pula!), melewati perjalanan darat hingga berjam-jam lamanya disambung dengan pesawat udara, rutinitas pulang kampung tetap saya lakukan.

Nasib siapa yang tahu. Saya membangun keluarga dan rumah di perantauan yang memastikan saya akan menjalani proses pulang kampung seumur hidup. Tetapi kembali lagi, nasib siapa yang tahu, entah besok lusa saya akan menetap hidup di kampung lagi.

Mungkin sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya anak kedua dari dua orang saudara. Tidak mungkin bertambah lagi. Alasan pertama, ibu sudah menopause dan kedua, ayah saya sudah meninggal. Kakak menetap di kampung dengan profesi petani, saya di perantauan sebagai profesional di bidang asuransi kesehatan sosial. Kakak berprofesi sebagaimana ayah kami, petani tentu saja, sedangkan saya bekerja di bidang yang sangat berbeda. Pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, tidak berlaku bagi saya. Rasanya saya jatuhnya kejauhan.

Karena pekerjaan kami berbeda, perjuangannya juga beda. Kakak memegang gagang cangkul, berpindah dari kebun yang satu ke kebun lain berharap cengkeh atau mericanya bertahan hidup dengan panen melimpah setiap tahun. Saya sendiri bekerja dengan memutar otak, menjadi budak korporasi yang cekatan, rapat sana-sini dalam gedung ber AC nan sejuk.

Kembali ke pulang kampung. Tepat seminggu lalu ketika perjalanan bersama kakak dari kota kembali ke kampung, kami banyak bercerita seperti biasa. Dia meminta saran untuk anaknya yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Hasanuddin. Bukan tanpa alasan sebenarnya, pertama saya juga alumnus kampus tersebut dan kedua, pekerjaan saya terbilang mapan bermodalkan ijazah dari kampus tersebut.

Saya tidak menjelaskan secara teknis. Tetapi intinya kira-kira begini. Pertama, selesaikan yang telah dimulai, yaitu memperoleh ijazah sebagai modal administrasi. Ibaratnya, ijazah adalah kesan pertama. Di Indonesia, ijazah memperbesar peluang untuk sukses, karena kita akan diberi kesempatan. Kalau tidak punya ijazah, peluang dan kesempatan menjadi jauh lebih sempit. Ada orang sukses kaya raya tanpa ijazah, tapi hanya sedikit.

Kedua, keistimewaan keluarga kita (kami berdua khususnya) unik, dalam kacamata pribadi saya. Saya katakan, perjuangan kita berbeda, pun dengan tingkat kesulitannya masing-masing. Bertani dan berkantor cara berjuangnya berbeda, tapi tidak derajatnya. Sama belaka, sama-sama mulia. Untuk bertahan dan maju, masing-masing kita wajib memiliki etos kerja prima, adaptasi di segala situasi, dan kuat menahan lelahnya berjuang. Istilah kerennya, resiliensi. Sifat yang harus kita wariskan ke anak-anak kita.

Kakak saya memandang jauh keluar jendela mobil yang melaju pelan. Memandangi hamparan sawah kering kerontang akibat kemarau panjang. Mengiyakan tanpa berkata-kata. Dia mengisap rokok Surya penuh hikmat. Di balik kemudi mobil, saya mengintip lewat spion, menelan liur yang nyaris meleleh.



Tidak ada komentar: