5 April 2011

Jangan Curhat, hah...?

Sepanjang yang saya ketahui, blog, selain sebagai tempat menulis, juga berfungsi untuk menumpahkan isi hati kita alias curhat (curahan hati). Pagi ini saya mau nyampah (ini versi seorang teman, menurutnya curhat tidak ada bedanya dengan membuang sampah). Walaupun saya harus melihat akhir dari tulisan ini untuk menyimpulkan apakah tulisan ini benar-benar 'sampah' atau tidak. Lagi pula tidak akan ada yang keberatan dengan apa yang saya tulis (ya iyalah, blog ini saya yang punya) dan tidak ada beban sama sekali untuk menulis apa pun. EGP...!, istilah anak muda. Itulah bedanya blog dengan pacar, blog tidak akan pernah mengeluh sedangkan pacar, dikit-dikit ngeluh, minta ini, minta itu. Aduuhh, koq lari ke pacar sih. Konsisten dong,..ehm

Baik saya mulai aja yah,..:)

Subuh tadi, tiba-tiba aja mimpi ketemu ibu di kampung. Saya melihat dengan jelas kian rentanya beliau termakan usia, rambut yang memutih dan wajahnya yang semakin tak berstruktur. Nah, biasanyan ini pertanda bahwa saya harus pulang kampung untuk sejenak melepas rindu atau sekedar terlelap di pangkuannya sambil mengelus kepalaku (saya tahu, bagian inilah yang paling beliau sukai). Saya baru sadar ternyata sudah lama saya tidak menginjakkan kaki di kampung halaman karena sibuk 'ngampus' (alasan paling ampuh untuk berlama-lama di Makassar). Mungkin mimpi tersebut sebagai tanda bahwa sudah saatnya pulang.

Setelah bermimpi, saya terbangun kemudian langsung meraih jam weker. Oh, ternyata sudah pukul 5 pagi. Saya beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudhu. Usai shalat subuh, saya bermunajat sambil berdoa kepada Tuhan, mendoakan ibu, ayah (alm), dan keluarga yang lain. Tidak seperti biasanya, kali ini saya tidak beranjak dari tempat shalat, masih memikirkan mimpi barusan, tentang ibu yang wajahnya semakin keriput. Itu ibu saya, wanita buta huruf yang tidak pernah menginjakkan kakinya di bangku sekolah. Wanita berhati malaikat yang tidak pernah mengeluh ketika dimintai uang kuliah dan rela memanggang tubuhnya di bawah terik matahari demi koin rupiah untuk membiayai pendidikan anaknya. Tujuannya tak lain, supaya anaknya duduk tenag di ruang kuliag ber AC. Beliaulah wanita yang rela melepas ringgit kesayangannya (emas yang berbentuk koin, berdiameter 4 cm) supaya anaknya tidak mencak-mencak gara-gara uang SPP nya terlambat dilunasi. Demi satu hal, anak kesayangannya meraih gelar sarjana dan kelak menjadi orang sukses. Bahkan semangatnya jauh berapi-api dibanding anaknya sendiri.

Untuk siapa kesuksesan itu? Untuk anaknya pasti, saya. Bagaimana pun, umurnya sudah terlalu renta untuk menikmati hasil jerih payahnya, toh kalau anaknya sukses nanti. Ketulusan manusia berhati emas. Lantas bagaimana dengan anaknya sendiri, apa yang telah dipersembahkan untuk ibunya? Apalagi kalau bukan keluhan, rengekan, suara yang meninggi karena kiriman uang terlambat. Hebat betul, hah...?

Termenung sejenak, buat apa saya menulis hal seperti ini blog. Betulkah karena saya peduli? Oh, saya tidak yakin. Sama sekali tidak merubah keadaan sedikit pun, kecuali bagi orang lain yang ingin membacanya.
Apa yang telah saya lakukan untuk ibu?
Pertanyaan yang ingin saya tulis sejak saya menuliskan 'sampah' ini. Pertanyaan yang gampang, saya yakin anak TK pun bisa menjawab pertanyaan semacam ini. Sayangnya, saya tidak punya jawaban dan terlalu naif untuk berkata tidak.

Sepertinya benarlah apa yang dikatakan teman saya, curhat adalah nyampah dan tempat curhat adalah sampah, siapa pun itu termasuk blog ini. Kasian blog ini jadi tempat sampah, hah...?

Tidak ada komentar: