30 September 2011

Mencintai Pekerjaan ala Confucius

Confucius, seorang filsuf kenamaan China pernah berkata, "Cintailah pekerjaanmu, maka kau akan hidup seolah tidak bekerja". Sungguh nasihat yang teramat bijak. Seolah pekerjaan dijadikan sebagai sarana menikmati hidup. Kiranya kita bisa mengambil makna bahwa pekerjaan yang berat sekali pun akan terasa ringan jika kita enjoy menjalaninya. Sepertinya nasihat inilah yang menginspirasi bangsa-bangsa besar seperti Jepang, China, dan Korea sehingga mereka bisa sesukses sekarang ini.

Tidak bisa dipungkiri, terkadang kita kita mengeluh dengan beban pekerjaan yang kian berat. Kalau dipikir, memang wajar kiranya kita mengeluh karena tumpukan pekerjaan. Hanya saja kita perlu merenungkan kembali apakah dengan mengeluh pekerjaan kita akan selesai saat itu juga. Sayangnya tidak! Malah sebaliknya, beban pekerjaan akan semakin bertambah dan semakin menyesakkan beban psikis kita. Nah, persoalannya kemudian, bagaimana kalau pekerjaan kita memang berat? Salahkah kalau kita mengeluh? Sebenarnya bisa saja, namun harus dalam proporsi yang tepat karena terlalu banyak mengeluh malah akan menurunkan produktivitas kita dalam bekerja.

Tidak jarang saya temui temui orang yang mengeluhkan pekerjaannya. Alasannya macam-macam. Bisa karena persoalan gaji, jam kerja terlalu banyak, sampai masalah pimpinan perusahaan tempat ia bekerja. Saya paling sedih ketika seorang teman mengeluhkan pekerjaannya karena alasan tidak menikmati hidupnya. Waktu yang tersita selama bekerja terlalu banyak sehingga dia merasa hampa menjalani hidup. Yah, dia merasa hidupnya telah ditukar dengan pekerjaan. Waktu yang tersisa tinggal sedikit, sehingga tidak sempat menikmati waktu luang. Bahasa kasarnya, tidak menikmati hidup karena pekerjaan.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengundurkan diri dari tempat kerja. Alasannya kurang lebih sama dengan di masalah di atas, tiidak menikmati hidup karena terlalu banyak waktu yang tersita. Saya tidak memungkiri bahwa saya butuh uang, terutama untuk melanjutkan kuliah. Namun, pilihan mundur akhirnya saya pilih. Tapi sebenarnya alasan utama saya mundur adalah tidak menikmati pekerjaan. Berat rasanya setiap kali saya berangkat ke tempat kerja. Saya merasa "tidak" hidup di sana.

Di tempat lain, saya juga bekerja. Sudah 2 tahun lamanya, sampai sekarang. Awalnya memang saya masuk di tempat itu dengan satu tujuan: Uang! Realistis saja, saya butuh uang. Persoalan saya suka atau tidak, itu urusan belakang. Malah saya cuek saja pada pimpinan lembaga tersebut ketika dia mengatakan, "mengajar adalah pengabdian, bukan karena uang" (kebetulan lembaga tersebut adalah bimbingan belajar). Dalam perjalanannya, uang (gaji) yang saya dapatkan sedikit, tapi entah kenapa saya tidak berpikir untuk meninggalkannya. Akhirnya saya sadar bahwa bekerja tidak hanya sekedar uang, tetapi persoalan kenyamanan jauh lebih penting. Percuma kan kita bekerja sedangkan yang kita rasakan adalah neraka.

Mungkin karena saya jatuh cinta, terlanjur nyaman dengan pekerjaan saya, makanya saya tetap enjoy dengan profesi saya sebagai pengajar. Setiap kali beban kuliah menumpuk di kepala, semuanya terasa lepas dan jauh lebih ringan ketika mendengar candaaan, kekonyolan, dan keluguan para siswa yang saya ajar. Selalu saja ada hal unik yang mereka lakukan. Intinya, saya mencintai apa yang saya lakukan dan itulah yang membuat saya tetap nyaman.