18 Agustus 2014

Perbincangan Dua Pria; Pak Polisi dan (Pak) Kasim

Suatu waktu, pada sebuah pertemuan awal Agustus lalu, seorang polisi yang hadir dalam pertemuan mendekatiku. Beliau mengeluh karena tak mendapatkan obat Hipertensi dan Diabetes Mellitus secara kontinyu di Klinik Polres, tempatnya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Paling lama cuma untuk pengobatan 1 minggu, selebihnya beli sendiri di Apotek, katanya. Belum lagi harus memeriksakan diri ke laboratorium klinik atau rumah sakit untuk mengetahui tekanan dan kadar gula darahnya, repot. Tak jarang harus merogoh kocek sendiri setiap kali pemeriksaan. "Murah sih, tapi lama-lama jadi banyak pengeluaran suupp...hehe" tandasnya dengan logat khas Gorontalo sambil terkekeh-kekeh.

Lalu beliau bercerita tentang temannya, seorang PNS di Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, yang juga menderita penyakit diabetes mellitus. Beliau protes karena BPJS Kesehatan memberi perlakuan berbeda bagi pesertanya. Katanya, temannya mendapat obat setiap bulan, diperiksa tekanan dan kadar gula darahnya oleh dokter keluarganya. Semua gratis! Juga tidak perlu mengantri tiap bulan di Poliklinik RS Aloei Saboe untuk mendapatkan obat. Cukup dirujuk tiap 3-4 bulan sekali untuk kontrol. Selebihnya dikembalikan dan ditangani oleh Dokter Keluarga. Obat yang didapatkannya pun sama persis dengan yang diberikan oleh rumah sakit. Kok anggota Polisi tidak bisa mendapatkan pelayanan seperti itu, protesnya.

Mendengarkan ceritanya, aku tersenyum dalam hati, tapi tetap memasang muka serius agar beliau, pak polisi, merasa mendapatkan empati dan keluhan yang disampaikannya tidak percuma. Dari raut muka dan ekspresinya, tampak sangat membutuhkan jawaban yang beliau harapkan; solusi. 

Beliau diam sejenak. Dalam hati, inilah saatnya. Lalu, dengan tenang, seperti biasa, aku menjelaskan serta memberi solusi terkait permasalahan tersebut di atas. Hipertensi dan Diabetes Mellitus serta 7 penyakit kronis lainnya masuk dalam Program Rujuk Balik (PRB) BPJS Kesehatan. Dulunya program ini terbatas pada dua penyakit saja; Hipertensi dan Diabetes Mellitus. Akan tetapi, saat ini ditambah sampai 9 penyakit kronis, termasuk asma, jantung, epilepsi, dll. Teman bapak, mengikuti Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) khusus peserta BPJS Kesehatan yang menyandang hipertensi dan Diabetes Mellitus. Beliau belum menanggapi.

Pak Polisi mematung. Mungkin masih bingung dan awam dengan istilah atau singkatan yang aku gunakan. Boleh dilanjutkan pak, tanyaku. Silakan, jawabnya datar. Prolanis dikelola oleh Dokter Keluarga dan beberapa puskesmas yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan Cabang Gorontalo. Kegiatannya rutin tiap bulan dan dilakukan secara terpadu, mulai dari pengambilan obat, pemeriksaan tekanan dan gula darah, senam sehat atau jalan santai, sampai edukasi kesehatan. Mimiknya terlihat tak sabaran, seolah ada pertanyaan yang hendak beliau tumpahkan. Ada pertanyaan pak, tanyaku sebagai respon gerak tubuhnya. Bagaimana caranya anggota polisi ikut program tersebut, tanyanya secepat kilat.

Beliau menghirup sisa kopinya hingga tandas tinggal ampas. Saat konsentrasinya kembali menatap wajahku, aku melanjutkan penjelasan atas pertanyaannya. Nah, bapak saat ini terdaftar dimana, tanyaku hendak memastikan. Klinik Polres, jawabnya singkat. Nah, berhubung Klinik Polres belum menjalankan PRB maupun Prolanis, maka untuk mendapatkan pelayanan seperti teman bapak, bapak bisa pindah faskes dari klinik Polres ke dokter keluarga yang bapak minati. Setelah pindah kepesertaan, bapak silakan datang memeriksakan diri ke dokter yang bersangkutan agar bisa diperiksa, dirujuk ke Rumah Sakit, mendapat Surat Rujuk Balik (SRB) dan selanjutnya dimasukkan dalam anggota Klub Risti. Itu apa lagi, beliau memotong. Klub Risti inilah yang menjadi anggota Prolanis yang pertemuannya terjadwal setiap bulan.

Jadi, harus pindah kepesertaan dulu, tanya pak polisi dengan nada serius. Saran saya begitu pak, jawabku. Soal perpindahan ini, bapak silakan datang melapor ke Kantor Cabang BPJS Kesehatan. Untuk diketahui, apabila bapak sudah pindah maka otomatis setiap kali berobat harus ke dokter keluarga dan bukan lagi di faskes tempat bapak terdaftar saat ini. Bapak akan mendapatkan pelayanan yang sama dengan teman bapak yang PNS itu. Jadi, BPJS Kesehatan tak membeda-bedakan pesertanya. Beliau jawab dengan senyum simpul.

Terima kasih atas penjelasannya, dengan pak siapa lagi, tanyanya. Moodku runtuh dengan kata pak...ah sudahlah. Dengan Kasim, jawabku sambil menyembunyikan rasa kesal. Oh, iya pak kasim, terima kasih sekali lagi, tambahnya.

Tak ada lagi pertanyaan, tanda pembicaraan hampir usai. Beliau meraba lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku bajunya. Pak, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, kurangi atau jangan merokok, aku memberi saran. Lah, pak kasim juga merokok kan, beliau membalas. Bapak tahu dari mana, aku mulai sengit. Tuh, bungkus rokoknya ngintip. Sambil menunjuk saku celanaku. Duh...

Gorontalo, 18 Agustus 2014

Disclaimer:
1. Maaf, judul sedikit tak simetris dengan isi cerita.
2. Dua tulisan terakhir, 'saya' diganti dengan kata ganti orang pertama; aku. Agak jijik juga, tapi yah sudahlah...

Tidak ada komentar: