9 September 2014

Bapakku

Bapakku petani. Petani tulen. Tak jarang dia memeras keringat dari bajunya di tengah terik matari. Nyaris sepanjang hidupnya tak menginjak gedung, tak merasakan semburan AC. Dia akrab dengan tanah kebun, lumpur sawah, Al quran tua, dan Durratun Nasihin lusuhnya.

Jumat pagi seperti biasa, dia tak beraktivitas di kebun atau sawah. Selepas subuh, 4 jam lalu, dia sibuk di samping jendela rumah. Hingga kini. Menatap kata, mengejanya dengan khusuk. Matanya sigap mengikuti arah telunjuk. Terlihat kaca mata pemberian sepupunya menggantung malas di ujung hidung. Sesekali pulpen menari di atas kertas kecil. Tangannya yang kaku, keras, berkulit tebal menelurkan huruf Arab dengan fasih. Hasil belajar autodidak.

Sementara itu, aku duduk termangu di tangga rumah. Mengintip jalan. Mengawasi langkah perempuan paruh baya muncul dari jalanan tak beraspal itu, pulang dari pasar. Ibuku. Pekerjaan yang kulakukan setiap jumat pagi hingga usiaku menginjak sekolah dasar. Kali ini, aku berharap pasar tak 'diserbu polisi'. Musababnya, kalau pasar ' diserbu polisi'  artinya takkan ada penjual kue. Tak ada apang, tak ada jalangkote, tak ada gambang, tak ada lammang. Aku percaya cerita itu, cerita ibuku. Belakang kutahu kalau itu cuma cerita rekaan agar anaknya tak merengek minta kue.

Pasar kacau. Penjual kue lari berhamburan. Ada yang mati ditembak. Polisi menyerbu pasar dengan brutal. Bahkan, uang receh pun dirampas polisi sampai tak tersisa. Begitu cerita ibuku sambil membersihkan sisik ikan. Aku duduk diam, nyaris menitikan air mata. Tak ada wangi kue, hanya bau ikan dan minyak tanah yang dibawa ibuku pulang dari pasar.

Asap mengepul memekakan mata dari balik dapur. Ibuku sedang memasak ikan yang tak sempat dirampas polisi. Tak lama kemudian kami bertiga makan dengan lahap. Sejenak aku melupakan kue, melupakan polisi jahanam yang menyerbu pasar.

Bapakku kembali dengan kitabnya. Dia akan membawakan khutbah siang ini, seperti pekan-pekan sebelumnya. Jam 11 siang kurang seperempat kami bersiap-siap. Bapakku kembali mengenakan celemek robeknya, celemek satu-satunya yang dia miliki. Sarung sudah tergulung rapi di lingkar pinggang, songkok hitam, terakhir dia mengenakan baju kokoh berbintik hitam akibat sisa keringat. Aku pun sudah siap melangkahkan kaki ke mesjid.

Untuk sampai di mesjid butuh waktu tak kurang dari setengah jam. Kami berdua melewati hutan rimbun, jalan setapak. Jalan yang juga dilalui kuda orang-orang kampung. Kalau hujan, jalanan akan sangat becek. Untung hari ini gerimis tak turun. Awan bersahabat. Langit sedang sumringah. Aku berjalan di depan bapakku. Aku takut di balakang. Dia, bapakku, terus berceloteh, menyibukkan telingaku agar tak menoleh ke arah kuburan yang kami lewati. Aku takut pada nisan kuburan. Dia tahu itu.

Tiba di mesjid, bapakku menuntunku ke tempat wudhu. Dia tidak wudhu di mesjid tapi di rumah sebelum berangkat. Biar pahala jumatnya lebih besar, katanya. Sedang aku tak tahan untuk tak kentut dalam perjalanan. 

Kami di mesjid paling awal. Bapakku menginjakkan kaki, melewati pintu, lalu mengambil barisan terdepan. Aku berdiri di sampingnya. Menjiplak gerakannya seperti bebek mengikuti kawanannya. Bapakku rukuk, aku ikut. Mataku tak melihat tempat bersujud karena sibuk mengamati gerakan lelaki yang berada di sampingku, bapakku.

Khutbah. Shalat. Jumat usai. Kami pulang. Matahari mulai beranjak ke barat. Dalam perjalanan pulang, di sela dedaunan pohon kemiri, kami mempercepat langkah. Aku tahu, bapakku akan ke kebun lagi siang ini. Pulang tanpa kata, hanya hentak kaki kecilku. Kami melewati kuburan lagi, dia meraih tanganku. Aku berlari kecil dengan tenang. Damai.

Bapakku ke kebun. Aku ikut. 2 jam berlalu, keringatnya mengucur. Dia memeras keringat dari bajunya. Dia lelah. Lelah yang dinikmati. Aku terpaku. Aku menangis saat menuliskan paragraf ini. Semoga engkau, bapakku, tenang di sisi-Nya. Sekian...

Gorontalo, 10 September 2014

Tidak ada komentar: