15 Oktober 2014

Tanpa Judul (2)


Madrasah Tsanawiyah tempat aku menimba ilmu terletak di seberang kampung. Jika ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 5 km dari rumahku. Dibatasi sungai tua yang arusnya cukup deras. Untuk tiba di sekolah, aku harus melewati jalan setapak, menembus kebun yang lebih mirip hutan.

Setiap pagi aku dan teman-teman yang lain berangkat sepagi mungkin. Kami berjalan kaki pulang dan pergi sekolah. Waktu tempuh sekitar 25 menit. Siswa yang lebih mapan biasanya memilih naik sepeda motor dengan waktu tempuh yang nyaris sama karena harus  berkelok memutar arah melewati jalan yang bisa dilalui kendaraan. Bedanya: yang naik motor tiba di sekolah dengan senyum sumringah, sedang kami tiba dengan wajah kelaparan. Sarapan tadi pagi tak tersisa, habis dalam perjalanan.


Satu waktu, aku ditunjuk untuk mengikuti perlombaan. Semacam cerdas cermat yang pemenangnya sudah bisa diprediksi. Sekolahku diundang dan aku didaulat untuk ikut meramaikan. Ikut meramaikan, bukan untuk memenangkan kompetisi. Musababnya, guruku saja susah payah menjawab contoh soal lomba, apalagi aku yang notabenenya siswa. Belum lagi buku panduan sangat terbatas. Jadi tak salah kalau niatnya cuma turut meramaikan. 

Persiapan menjelang lomba, aku diwajibkan pulang lebih lama untuk berlatih memecahkan contoh soal. Kadang berdebat sengit dengan guru. Sekali waktu, guruku keliru menjawab soal deret angka. Soal tersebut terbilang muda, akibatnya, kepercayaanku runtuh. Sejak saat itu, aku selalu curiga dengan jawabannya. Dan sejak saat itu pula, perdebatan demi perdebatan terus terjadi dalam kelas.

Pelajaran hari ini usai. Aku masih menatap tajam lembaran soal sampai lupa waktu. Lomba dua hari lagi. Adalah waktu yang singkat untuk memecahkan puluhan soal. Ingin kubuktikan bahwa aku bukan siswa level 'turut meramaikan' dalam perlombaan. Aku bisa lebih baik. Hujan turun tanpa disangka-sangka. Sore mulai layu, senja mengintip, dan aku termenung memamtung putus asa di luar kelas...


Aku menatap dingin pada daun yang mulai samar. Kasihan, daun yang selembar itu menari sendiri dalam sendu. Sendiri ia menghadapi hujan, tak ada teman, tak ada kawan yang membantunya menangkis butiran air atau pun sekedar menghiburnya. Ia seakan tumbuh untuk menghadapi dunia sendirian. Mungkin tak lama lagi ia beranjak tua, menguning, lalu gugur dalam sepi tanpa seorang pun yang peduli atas kekalahannya. Sementara itu, aku duduk terpekur di sudut gedung. Menatap daun yang seolah mewakili kesendirianku. Nelangsa. Gelisah menanti hujan yang tak kunjung reda. 

Satu jam berlalu. Matahari lelah dan menyerah pada malam. Bumi terasa suram, gelap lebih awal dari biasanya. Tanah basah pasrah menerima guyuran hujan. Sesekali bunyi sumbang kodok di seberang rumpun bambu. Bunyi yang mungkin niatnya hendak menghibur tapi terdengar seperti ledekan dan ejekan. Dasar kodok yang tak tahu cara menghibur.

Hujan terus menahanku. Aku menengok langit, sebentar lagi malam menyergap. Dengan berat hati, seragam sekolah dan sepatu aku lepas, lalu menjejalkan benda tersebut ke dalam tas plastik bersama buku pelajaran. Aku harus beranjak. Aku berlari kecil memotong daun talas dekat selokan untuk melindungi kepalaku dalam perjalanan pulang. Yah, kepalaku. Hanya itu yang kubutuhkan agar esok tidak terserang flu atau demam.

Baju dalam yang kupakai nyaris basah seluruhnya. Dalam perjalanan yang bisu, sendiri, dan tak romantis itu, air mataku jatuh. Jatuh bersama hujan. Hutan gelap dan menyeramkan tak aku pedulikan. Pikiranku terlalu sibuk dengan harapan. Tekad bahwa perjuanganku tak akan sia-sia. Ini adalah awal yang mesti dinikmati, tak peduli bagaimana pun sulitnya. Hidupku sempurna meski tak mewah. Tubuhku kuat dan orangtuaku siap mendukung apa yang kulakukan kini: menuntut ilmu.


Sepanjang ingatan, kedua orangtuaku tak berkata banyak. Apalagi bapakku yang tak tahu menahu soal kata-kata bijak atau sekedar memberi motivasi kepada anaknya. Mungkin karena pendidikannya terlalu rendah untuk menggurui. Mungkin juga, karena bakat petani yang lebih banyak bekerja daripada bicara. 

Aku tiba di rumah. Sepatu dan seragam aku keluarkan. Esoknya, aku terserang demam sepanjang minggu dan tidak bisa mengikuti lomba. Sial! (Tuhan, ampuni dosaku karena menuliskan kata itu)

Tidak ada komentar: