Pandangan saya tertuju pada sebatang nyiur yang melambai indah mengikuti gerak angin. Sepertinya dia sedang menikmati pagi yang romantis bersama angin. Bergoyang seiring laju angin. Sejenak saya iri dengan kehidupan yang dia punya. Hanya perlu berdiri tegak, menari bersama angin setiap hari, sesekali menadah bulir air hujan. Tak perlu menyisir rambut, tak perlu bangun pagi untuk pergi ke kantor, dan tak perlu duduk kesepian seperti yang saya alami saat ini.
Pernah saya membayangkan hidup sederhana. Bangun pagi, menyeduh kopi, menghabiskan beberapa batang rokok sambil berselonjor malas di beranda rumah. Tak ada derit kasar alarm yang memaksaku terjaga tiap pagi, melainkan perempuan mungil yang membangunkanku, membelaiku sampai terjaga dari percintaan sepanjang malam. Sampai saya tersadar, dunia tersebut mungkin hanya ada dalam lamunan, khalayan yang tak akan terwujud.
Sekarang, tanggal 3 Januari 2015. Saya menua, nyaris karatan. Hujan baru saja mengaduk debu jalanan menjadi lumpur. Tak jauh, deru traktor memecah kebisuan pagi. Membuyarkan segala khayalan. Laju waktu tak dapat ditahan, garis datar tepat di dahi semakin tegas. Saya menua. Betul-betul menua, merenta.
Di teras kost tempat saya berdiri, tanpa kopi, hanya buku yang tak kunjung usai dibaca. Saya telah melalui kekalahan yang indah. Bekerja, merantau agar terlihat normal seperti kehidupan banyak orang. Tahun berganti, terus berganti, lalu saya lupa berkembang biak. Dan lapuk, membusuk.
Pagi mendadak hancur ketika short message muncul dari balik layar Iphone bututku, "Nikmati masa muda ta, tapi jangan ki lupa, ibu ta hanya manusia biasa yang ingin menimang cucu di hari tuanya. Cuma mengingatkan"
Saya tertegun. Lalu mati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar