17 Mei 2015

Bukan Puisi

Semua tahu, aku tak lihai berpuisi.
Tak tahu menahu teori puisi.
Aturah puisi, sajak, Bait, larik, rima, aku tak mengerti.
Yang aku tahu, puisi hanyalah deretan kata.
Tentu saja untuk dibaca oleh kita maupun penulisnya.
Sesekali untuk dimengerti.

***
Nyaris 11 tahun aku menghabiskan malam di luar rumah. Rumah dalam arti sebenarnya. Kampungku.
Aku terbawa cita yang tak pernah sempat aku rumuskan.
Aku hanya berjalan melewati labirin waktu, tempat, dan juga hati.
Hingga aku betul-betul menjauh dari rumahku.

Tak ada yang menyangka, termasuk diriku.
Kamu anak bungsu pewaris rumah orang tua, tak boleh jauh-jauh. 
Kamu gagap sejak pertama kali mampu merapal kata.
Lidahmu kaku, sudah dikutuk untuk tak mampu menyebut R dengan sempurna.
Ya, huruf R seperti olok-olok ketika keluar dari ujung lidahku.
Itu kata banyak orang yang kukenal sejak kecil.

Waktu berjalan. Perjalananku semakin jauh. Dari rumahku, mulai dari jarak 30 km, 150 km, hingga ribuan km.
Aku semakin jauh.
Dulu, aku bertemu ibuku sekali seminggu, lalu sekali sebulan, lalu kini enam bulan sampai setahun sekali.

Tentang ibuku. Tujuan aku merunut kata-kata ini.
Tunggu sebelum kulanjutkan. Sebenarnya, aku menulis ini bukan untuk dibaca olehnya. Sebab;
Dia tak tahu alamat blogku.
Tak tahu mengakses internet.
Tak tahu menyalakan komputer.
Tak tahu membaca.
Bahkan tak tahu kalau aku menulis untuknya, saat ini.

Baik, kulanjutkan.

Dia, ibuku, menelponku sebulan lalu.
Bukan, aku yang menelpon atas permintaannya lewat kakakku.
Dia tak menanyakan kabar. Seperti biasa.
Dia hanya berpesan, jadilah lelaki yang berani menagih piutang.
Lalu melanjutkan basa-basi lain yang tak penting.

Perihal ibuku yang tak pernah menanyakan kabar.
Begini.
Dia menggunakan firasat seorang ibu.
Ketika aku sakit, dia pasti tahu.
Entah lewat apa, aku tak mengerti sama sekali.
Aku sedang gelisah pun, dia tahu.
Itulah kenapa, dia tak pernah menanyakan kabarku, kecuali untuk sekedar basa-basi.

Ibuku selalu ragu pada kemampuanku.
Katanya, aku terlalu muda sejak kali pertama merantau.
Terlalu lemah, karena aku bungsu.
Dia membandingkanku dengan anak pertamanya, kakakku, yang terlanjur tangguh sejak menggantikan peran ayahku.

Aku yatim.
Tak ada ayah yang melindungiku.
Itu ketakutan terbesar ibuku.
Dia takut, saat aku jauh dia tak mampu melindungiku.
Meskipun firasatnya kuat, jarak tetaplah jarak. Butuh waktu untuk menyelamatkan anaknya jika terjadi apa-apa.

Ibuku tak punya banyak nasihat.
Pesannya selalu berulang ketika aku pulang menemuinya.
Dia tak punya banyak kata-kata seperti dalam buku.
Lagipula, dia, seumur hidupnya tak pernah membaca buku.
Dia buta huruf. Kalian sudah tahu.
Berikut nasihatnya:
Jangan terlalu mudah meminjamkan uang.
Baik sama orang, siapa pun itu.
Jangan bermain perempuan.

Nasihat terakhirnya, aku bingung.
Aku tak bermain perempuan.
Juga perempuan tak ingin bermain denganku. 
Aku hanya tak serius dengan banyak perempuan. Beberapa maksudnya.
Aku pertegas: banyak, bukan semua.
Tak serius tidak sama dengan main-main.
Itu dua hal yang sama sekali berbeda.
Kalian paham maksudku.

Tapi tak tampan begini, aku pernah diajak menikah oleh seorang perempuan.
Bukan, dia bukan perempuan putus asa.
Dia berpendidikan dan cukup waras, seingatku.
Aku tertawa. Lalu mengalihkan pembicaraan.
Dia akhirnya putus asa. Sementara aku masih tertawa.
Aku sedih karena tak tahu cara berkomitmen. Ya, aku sedih tapi masih tertawa di hadapan perempuan itu.
Aku ikut putus asa dan masih tertawa.

Di umurmu sekarang, kakakmu sudah punya 2 anak, kata ibuku.
Aku mati akal.

***
Betul kan, tak seperti puisi.

Tidak ada komentar: