12 Mei 2016

Menjebak Hujan

Pakaianku nyaris basah kuyup dalam perjalanan ketika aku menepikan motor di sudut warung kopi. Berlindung dari hujan yang tiba-tiba tumpah dari langit. Sepertinya Tuhan tidak sedang bercanda. Atau mungkin Tuhan tiba-tiba mendapat ide untuk memaksaku singgah di warung kopi setelah sekian lama tidak menikmati kopi. Ditemani hujan. Tuhan yang Pengasih.

Perihal terjebak dan menjebak. Korban dan pelaku. Analogi keduanya mirip, dimana terjebak adalah korban, sementara menjebak adalah pelaku. Seringkali kita menempatkan diri sebagai pihak terjebak untuk mendiskreditkan atau menyudutkan pihak lain. Manusia terlalu banyak salah sampai lupa menyudutkan diri mereka.

Kembali ke ihwal hujan. Hujan dan perasaan terjebak. Manusia ketika dalam perjalanan lalu turun hujan, yang pertama kali muncul di benak adalah kita terjebak hujan. Karena hujan kita tidak dapat melanjutkan aktifitas. Manusia adalah korban dan hujan adalah pelakunya. Seperti yang kualami saat ini. Tersudut di warung kopi karena hujan.

Aku teringat wejangan Pramoedya Ananto Toer. Adil sejak dalam pikiran.

Hujan dan manusia adalah dua eksistensi. Bisakah kita menilai hujan secara adil? Pernahkah kita membayangkan hujan telah terjebak dan kita berada dalam jebakan itu. Kita di antara pihak yang dilibatkan Tuhan ketika hujan terjebak. Jangan-jangan hujan  sedang berpikir, manusia -yang terlibat- yang menjebaknya, sebelum kita berpikir telah dijebak hujan. Manusia menjebak hujan. Hujan hanyalah korban.

Hujan tak pernah memilih kapan dan dimana dia akan jatuh. Hujan jatuh di tempat kita berada, lalu menyalahkan hujan dan berdalih kita terjebak hujan. Sungguh tidak adil. Mas Pram, maafkan kami.

Aku ingin menjebak hujan.

Tidak ada komentar: