Ketika pemerintah terus mengklaim perekonomian Indonesia meningkat, angka kemiskinan terus menurun, hal yang sangat kontras kemudian mebelalakkan mata kita. Mengapa tidak, anda (pembaca artikel ini, red) tidak perlu menemui saya untuk membuktikannya. Coba saja keluar dari rumah anda, jalan-jalan dan lihat di sekeliling anda. Begitu banyak hal aneh kalau kita membandingkan dengan pernyataan pemerintah (anda pasti tahu maksud saya). Apakah pemerintah bohong? Entahlah, kita hanya bisa benar-benar percaya dengan apa yang kita saksikan sendiri. Yah, tentunya kritikan saya ini adalah kritikan basi. Pemerintah sudah bosan dengan suara sumbang seperti itu.
Tadi, beberapa jam yang lalu sebelum saya menulis artikel ini. Saya kebetulan lewat di Jalan Batua raya (Makassar) naik motor, karena haus saya singgah membeli minuman di warung. Duduk di jok motor sambil merokok, singgahlah seorang ibu paruh baya (umur sekitar 45 tahun) pengangkut sampah yang menggunakan becak (saya tidak tahu apa istilahnya). Nafasnya agak dalam, sepertinya dia kelelahan dan butuh sedikit istirahat dari becak yang penuh sampah. Udara malam tak mampu menahan keringatnya, kasian ibu ini. Karena rokok saya belum habis, saya mencoba menggajaknya bicara...
Beliau biasa dipanggil dg. rannu, tinggal di Sudiang (sekitar 15 KM dari Jl. Batua raya). Saya membelikannya segelas air mineral, beliau pun berbicara sedikit tentang sisi hidupnya, kegiatannya sehari-hari. Sangat miris ketika saya tanya, kenapa jam segini (saat itu jam 10 malam) masih mengayuh becak sampahnya. "Inimi pekerjaanku nak, memungut sampah warung makan untuk dibuang, disitumi saya dibayar, sekalian kumpul botol plastik kalau ada. saya ini janda, dan 2 anak menunggu di rumah untuk dikasi makan" tukas si ibu. "lima tahunmi saya begini, menggantikan pekerjaan suami yang meninggal duluan, baru nda mauka mengemis. maumi diapa, daripada kelaparan" iba si ibu...Bayangkan bung, ini jam 10 malam! Ada ibu yang masih mengucurkan keringatnya untuk sesuap kehidupan. mengayuh becak tempat sampah, pekerjaan yang tidak wajar untuk ukuran perempuan paruh baya yang terlihat renta. Beliau keluar rumah jam 10 pagi dan jam 10 malam masih memeras keringatnya. Mungkin beliau tiba di rumahnya jam 12 malam. Entahlah, apakah memang Tuhan telah menggariskan takdir beliau seburuk (maaf) itu, ini tidak adil! Atau beliau memang dipaksa untuk semiskin itu? kalaupun iya, siapa yang bertanggung jawab, saya, anda, atau kita semua. Di tengah kota metropolitan, sungguh ini adalah potret dunia yang menyedihkan, sangat menyedihkan bahkan. Saya yakin (sangat yakin) masih banyak potret dg rannu-dg rannu di sekitar kita yang mungkin lebih mengenaskan nasibnya.
Ketika banyak orang berkata, harta bukan ukuran kebahagiaan. Nah, kira-kira dg rannu bahagia? Jawaban saya, tidak! saya yakin jawaban anda kurang lebih sama. Ketika kita sibuk berpikir memilih apa yang kita makan hari ini, beliau sibuk berpikir, bisa tidak saya dan keluarga makan besok. Beliau bukan pemalas. Jarak 20 KM ditempuhnya dengan becak setiap hari bukan ukuran yang tepat untuk seorang pemalas. Akankah dg. rannu terus mengayuh becaknya? 2 atau 3 tahun ke depan mungkin beliau masih punya sisa tenaga. Bagaimana dengan 10 tahun ke depan? Jangan dijawab. Sekali lagi, siapa yang bertanggung jawab? Anda jangan jawab, PEMERINTAH. Percuma saja...!!!
Makassar, 04 januari 2011, 02.05 am
1 komentar:
...:)
Posting Komentar