28 Januari 2024

Perbincangan Sore

Sore itu duduk menunggu giliran di tukang cukur langganan. Pangkas rambut khas Madura yang letaknya tak jauh dari rumah.

Tak lama menunggu, giliran saya tiba. Dia menanyakan rambut dipotong seperti biasa atau ada permintaan khusus. Pangkas seperti biasa, pinta saya.

Seperti biasa, karena sudah cukup akrab dia memulai pembicaraan random seperti langganan lain sambil menjalankan tugasnya. Katanya dia baru saja pulang kampung di Madura bersama anak dan istrinya dengan menghabiskan uang yang ditabungnya selama beberapa bulan terakhir. Alhamdulillah, kata saya, karena tidak banyak perantau yang bisa rutin pulang kampung berkumpul dengan sanak saudara.

Awalnya dia mengutarakan keinginannya untuk membeli ruko kecil untuk dijadikan tempat usaha. Tempat pangkas rambut, tentu saja. Selama ini dia menjalankan usahanya dengan berpindah-pindah lokasi karena ruko yang dikontrak masanya selesai. Menurut pengalamannya, pemilik ruko akan menaikkan harga setelah beberapa tahun. Masalahnya, dia harus memulai lagi dari awal untuk mencari langganan tetap kalau pindah di lokasi yang baru. Kondisi ini seperti siklus yang tak kunjung berakhir selama bertahun-tahun sejak dia mencari peruntungan di rantau.

Dia rutin menabung, tetapi tabungannya tak pernah cukup untuk sekedar membayar uang muka ruko. Selalu habis tiap kali pulang kampung. Begitu kondisinya setiap tahun.

Tibalah saat saya menyampaikan pandangan tentang menabung. Rugi menabung karena nilai uang akan tergerus inflasi dibanding bunga yang ditawarkan oleh bank. Lebih bagus dialihkan ke aset investasi seperti reksadana (dia tidak mengerti tentang reksadana) atau emas batangan yang bisa dibeli di Pegadaian.

Tapi kunci awal adalah jangan ada utang atau cicilan. Saya tidak anti praktik riba, tetapi sedapat mungkin dihindari. Faktor utama kegagalan membangun pondasi keuangan adalah cicilan. Alhamdulillah, saya melunasi cicilan di bank pada akhir 2018 dan tidak berniat lagi berutang. Saat ini saya fokus menguatkan pondasi keuangan dan menumbuhkan passive income dari instrumen investasi seperti reksadana, emas, dan saham.

Jadi kalau tujuannya mau beli ruko maka sebaiknya fokus di investasi emas batangan dan hindari cicilan konsumtif. Jangan taruh di tabungan biasa karena kita gampang tergoda menggunakan uang di luar tujuan awal.

Lalu, ceramah dimulai, haha.

Usut punya usut, dia punya beberapa cicilan konsumtif. Alasannya, sukar memiliki sesuatu tanpa kredit. Tak kuat menunggu dan bersabar, jadi mending nyicil supaya hasilnya kelihatan berupa benda (entah motor, ponsel, atau lainnya). Ceramahnya menyinggung kemana-mana yang intinya ingin membenarkan apa yang telah dilakukannya selama ini. Saya coba mendebat dengan hati-hati. Hasilnya nihil sepertinya.

Saya berhenti mendebat. Dalam hati, ngapain mengeluh ke saya. Hikmahnya adalah banyak kita memiliki pandangan berbeda dan itu wajar. Terkadang kita mengeluh bukan untuk menerima masukan tetapi hanya ingin validasi dan pembenaran dari orang lain.

Tak terasa, dia menuntaskan tugasnya dengan baik. Saya memberikan haknya seperti biasa. Sekian.

9 November 2023

Pulang Kampung

Tradisi pulang kampung selalu spesial bagi sebagian besar orang, termasuk saya pribadi. 19 tahun berlalu sejak saya untuk pertama kalinya meninggalkan kampung untuk menempuh pendidikan, pulang kampung selalu istimewa dan memberikan kesan tersendiri. Meskipun perjalanan merantau kala itu tidaklah begitu jauh, tetap saja momen pulang setiap 1 atau 2 minggu sekali adalah peristiwa yang dirindukan dan selalu dinanti. Bahkan ketika perjalanan pulang tidak sederhana dan mudah lagi (berbayar pula!), melewati perjalanan darat hingga berjam-jam lamanya disambung dengan pesawat udara, rutinitas pulang kampung tetap saya lakukan.

Nasib siapa yang tahu. Saya membangun keluarga dan rumah di perantauan yang memastikan saya akan menjalani proses pulang kampung seumur hidup. Tetapi kembali lagi, nasib siapa yang tahu, entah besok lusa saya akan menetap hidup di kampung lagi.

Mungkin sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya anak kedua dari dua orang saudara. Tidak mungkin bertambah lagi. Alasan pertama, ibu sudah menopause dan kedua, ayah saya sudah meninggal. Kakak menetap di kampung dengan profesi petani, saya di perantauan sebagai profesional di bidang asuransi kesehatan sosial. Kakak berprofesi sebagaimana ayah kami, petani tentu saja, sedangkan saya bekerja di bidang yang sangat berbeda. Pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, tidak berlaku bagi saya. Rasanya saya jatuhnya kejauhan.

Karena pekerjaan kami berbeda, perjuangannya juga beda. Kakak memegang gagang cangkul, berpindah dari kebun yang satu ke kebun lain berharap cengkeh atau mericanya bertahan hidup dengan panen melimpah setiap tahun. Saya sendiri bekerja dengan memutar otak, menjadi budak korporasi yang cekatan, rapat sana-sini dalam gedung ber AC nan sejuk.

Kembali ke pulang kampung. Tepat seminggu lalu ketika perjalanan bersama kakak dari kota kembali ke kampung, kami banyak bercerita seperti biasa. Dia meminta saran untuk anaknya yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Hasanuddin. Bukan tanpa alasan sebenarnya, pertama saya juga alumnus kampus tersebut dan kedua, pekerjaan saya terbilang mapan bermodalkan ijazah dari kampus tersebut.

Saya tidak menjelaskan secara teknis. Tetapi intinya kira-kira begini. Pertama, selesaikan yang telah dimulai, yaitu memperoleh ijazah sebagai modal administrasi. Ibaratnya, ijazah adalah kesan pertama. Di Indonesia, ijazah memperbesar peluang untuk sukses, karena kita akan diberi kesempatan. Kalau tidak punya ijazah, peluang dan kesempatan menjadi jauh lebih sempit. Ada orang sukses kaya raya tanpa ijazah, tapi hanya sedikit.

Kedua, keistimewaan keluarga kita (kami berdua khususnya) unik, dalam kacamata pribadi saya. Saya katakan, perjuangan kita berbeda, pun dengan tingkat kesulitannya masing-masing. Bertani dan berkantor cara berjuangnya berbeda, tapi tidak derajatnya. Sama belaka, sama-sama mulia. Untuk bertahan dan maju, masing-masing kita wajib memiliki etos kerja prima, adaptasi di segala situasi, dan kuat menahan lelahnya berjuang. Istilah kerennya, resiliensi. Sifat yang harus kita wariskan ke anak-anak kita.

Kakak saya memandang jauh keluar jendela mobil yang melaju pelan. Memandangi hamparan sawah kering kerontang akibat kemarau panjang. Mengiyakan tanpa berkata-kata. Dia mengisap rokok Surya penuh hikmat. Di balik kemudi mobil, saya mengintip lewat spion, menelan liur yang nyaris meleleh.



16 Mei 2022

Kisah James Read dan Psikologi Uang

Ronald James Read. 25 tahun bekerja memperbaiki mobil di pom bensin dan pembersih lantai selama 17 tahun. Dia tinggal di rumah seharga 12 ribu dolar selama hidupnya. Read meninggal pada tahun 2014 di usia 92 tahun. Setelah meninggal barulah Read terkenal karena menyumbangkan harta sekitar 8 juta dolar atau senilai 112 miliar lebih jika dirupiahkan. Mereka yang mengenal Read kaget bagaimana mungkin memiliki uang sebanyak itu.

Ternyata tidak ada rahasianya. Tidak ada kemenangan lotre, warisan atau harta karun yang diterima Read. Dia hanya menabung atau menginvestasikan uangnya di saham bluechip selama hidupnya hingga puluhan tahun, berkali-kali lipat hingga bernilai lebih dari 8 juta dolar. Itu saja. Dari Petugas kebersihan ke filantrofis.

Penggalan cerita di atas adalah kisah nyata yang diangkat dalam buku The Psychology of Money karya Morgan Housel.

Ada beberapa kisah yang diangkat oleh Housel dalam bukunya, tapi kisah James Read adalah yang paling menyita perhatian saya. Kisah tersebut adalah potret sempurna bagaimana psikologi uang bekerja.

Mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kita tentang uang dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku kita. Sayangnya perilaku sukar diajarkan, bahkan kepada orang-orang yang sangat cerdas. Keputusan finansial ternyata dominan dipengaruhi oleh perilaku, bukan dipengaruhi oleh kemampuan teknis tentang investasi atau keuangan. Tidak jarang kita melihat orang berpendidikan mengelola uang justru lebih buruk.

Suka atau tidak, ada dua topik yang berdampak pada semua orang, tak terkecuali kita semua; kesehatan dan uang.

Industri kesehatan berkembang pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan. Kita bisa sakit kapan saja, tapi berkat kemajuan teknologi, peluang menjadi sehat jauh lebih besar dibanding puluhan tahun lalu. Kita patut bersyukur karenanya. Akan tetapi, industri uang - investasi, keuangan pribadi, perencanaan bisnis - lain ceritanya. Sains semakin berkembang, tapi mengelola uang sepertinya tidak mengalami kemajuan dan akibatnya kesalahan tetap berulang. Rentang waktu puluhan tahun tidak menjadikan semua orang menjadi pengelola uang yang baik.

Belum lama ini kita disuguhi berita mengenaskan. Seorang pegawai bank berpenghasilan 60 juta/bulan melakukan korupsi puluhan miliar. Belakangan diketahui penyebabnya adalah utang. Dia pegawai bank, pengasilan cukup tinggi, dan terlilit utang. Bagaimana mungkin terjadi; ahli keuangan gagal mengelola uang?

Rasanya aneh jika membandingkan pengetahuan keuangan James Read dan pegawai bank di atas. Ajaibnya justru karena hasilnya berbanding terbalik. Apakah ini anomali? Rasanya tidak. Untuk menggambarkannya, saya tertarik dengan pengamatan Voltaire yang dikutip di buku ini, "Sejarah tak pernah mengulang dirinya sendiri; manusia selalu mengulang." Pegawai bank tidak bodoh, dia hanya mengulang kesalahan yang sama dalam mengelola uang.

29 November 2019

I'm Back


Tiga tahun berlalu tanpa postingan di blog. Tidak ada aktivitas, bahkan draft tulisan pun tidak ada. Meski sebelumnya juga tidak rutin setiap bulan, tapi 3 tahun tanpa tulisan rasanya kok kelewatan.Tapi itulah kenyataannya.

Tiga tahun terakhir adalah salah satu periode terbaik dalam hidup saya. Berkeluarga sejak akhir 2016, anak pertama lahir tahun 2017, rutin olahraga di tahun 2018, dan 'kurus' di tahun 2019! Itulah rentetan momen sehingga saya harus kembali menulisnya di sela 'ketidaksibukan' di kantor. I,m back!

Saya percaya setiap orang punya momentum atau titik balik dalam hidupnya. Kita mengenal Kolonel Sanders yang berhasil mewaralabakan KFC pada usia 65 tahun dan banyak cerita heroik lain dalam hidup seseorang yang berhasil mengubah hidupnya. Tentu saya tidak akan membandingkan apalagi mensejajarkan perjalanan hidup saya dengan Kolonel Sanders. Tapi bagi saya, titik balik hidup selalu spesial bagi siapapun, sekecil apapun perubahan itu.

Memutuskan nikah menjelang usia 30 tahun adalah salah satu keputusan terbesar. Ada banyak pertimbangan di sana serta tantangan di awal pernikahan. Syukurnya mental saya cukup siap untuk mengarungi gelanggang pernikahan. Walaupun perjalanan 3 tahun ini belumlah menjadi pembuktian yang cukup, tetapi ada banyak alasan rumah tangga kami akan baik-baik saja hingga seterusnya.

Momentum kedua dari tiga tahun paling berkesan adalah saya berhasil mengubah hidup. Tepatnya, berat badan! Menderita obesitas sejak tahun 2010 awal sungguh tidak mudah. Segala cara sudah ditempuh untuk mengoreksi berat badan. Pernah berhasil, tetapi kebanyakan gagal. Puncaknya, timbangan badan menunjuk angka 84 - 85 kg di tahun 2018. Belum lagi keluhan sakit pinggang, kepala, dan leher. lengkap sudah.

Saya pernah berpikir untuk pasrah bahwa usia 30-an adalah tahap awal memasuki masa tua. Sehingga wajar kalau 'nikmat sehat' akan Tuhan kurangi sedikit demi sedikit sampai kita menjemput ajal.

Lari...
Ya, larilah yang mengubah hidup dan menyelamatkan saya. Entah mengapa tiba-tiba saya rutin berlari. Tepatnya pada Agustus - September 2018 saya memulai rutinitas tersebut. Jika sejak tahun 2014 saya berlari sekali seminggu, dua minggu, bahkan sebulan sekali, kali ini saya mencoba 3 - 4 kali seminggu. Cukup mudah memulainya. Hanya perlu bangun lebih pagi, lari, dan konsisten.

Hasilnya luar biasa dan akan cukup panjang jika diuraikan dengan kata-kata. Intinya jika sebelumnya saya berpikir wajar jika usia 30 tahun mulai sakit-sakitan, sekarang usia 30+ adalah waktunya menikmati hidup berkualitas dan sehat sampai tua.

Di sinilah saya sekarang. Melanjutkan perjalanan dan tulisan...


Gorontalo, 29 November 2019

14 Juni 2016

14 Juni 2005

14 Juni 2005. Ketika itu malam hendak menyergap senja dan bersiap menguburnya dalam gelap. Ayah kami menghebuskan napas terakhirnya. Perjuangan melawan tumor ganasnya berakhir dengan kematian yang tenang. Al Fatihah.

Tepat 11 tahun ayah meninggalkan kami. Tak ada lagi yang mengingatkan mengucap Alhamdulillah setiap kali mendapat nilai bagus di sekolah.

Ayah, kami selalu mengingatmu dalam setiap baris doa. Semoga kita dipertemukan dalam suka cita, di akhirat kelak. Amin.

Gorontalo, 14 Juni 2016

15 Mei 2016

Membaca Murakami

Tidak banyak penulis yang aku baca karyanya. Hanya bisa dihitung jari. Aku tidak suka mengakrabkan diri dengan banyak penulis. Terlebih aku tidak punya banyak waktu untuk membaca banyak buku. Apologi.

Penulis hebat akan menghasilkan karya yang berkualitas, sampai terbukti sebaliknya. Keyakinan itu yang saya pegang sampai detik ini. Aku membaca Pramoedya Ananta Toer setelah membeli tetralogi Bumi Manusia. Setelahnya aku memburu karya Pram yang lain, hampir semua. Aku terlanjur terpikat pada cara beliau bertutur. Aku membaca hampir semua karya Dewi Lestari sampai akhirnya kecewa dengan seri terakhir Supernova, Intelegensi Embun Pagi. Mungkin aku tidak akan membeli bukunya lagi. Aku juga memburu semua karya Eka Kurniawan. Penulis yang tidak dapat kau tebak isi kepalanya. Penulis cabul nan cerdas. Haha

Lalu kemudian aku berkenalan dengan Haruki Murakami. Penulis Jepang yang bukunya sangat rumit. Jujur, karena rumitnya, aku tertarik dengan bukunya yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, seperti Norwegian Wood, IQ84, dan Dunia Kafka. 

Rumit, detail, dan sedikit cabul. Itulah kesan pertama membaca Murakami. Tapi aku menyukai deskripsi sex yang ikut mewarnai buku-bukunya. Aku membayangkan artis JAV zaman kuliah dulu setiap kali dia menggambarkan detail sex. Aneh.

Sebagai catatan, aku hanya membaca 3 karya Murakami. Mungkin dia punya karya hebat lain yang plot dan cara bertuturnya beda. Tapi izinkan aku berkesimpulan: Tokoh utama dalam cerita Murakami adalah kutu buku, pendiam, penyendiri, cerdas dan pendengar yang baik. Dua sifat terakhir perlu digaris bawahi.

Cerdas dan pendengar yang baik adalah bakat. Tentu saja perlu dilatih. Saya yakin, Murakami sengaja mengangkat tokohnya sebagai pencinta buku untuk menegaskan sifat-sifat di atas. Kalau anda membaca tiga buku Murakami tersebut, kesan itu akan anda temui. Perhatikan katakter Tengo dalam IQ84, Watanabe pada Norwegian Wood, atau Kafka dalam Dunia Kafka. Ada kemiripan. Walaupun aku berpikir itu wajar karena ditulis oleh orang yang sama.

Tapi betul apa yang diceritakan oleh Murakami, dalam dunia nyata penggila buku adalah pediam (umumnya), cerdas, pendengar yang baik, dan teman cerita yang menghanyutkan. 

Anda bisa menghabiskan banyak waktu dengan penggila buku tanpa merasa bosan. Selalu ada kejutan di balik batok kepalanya dan tentu saja dia akan memberi pendapat jika anda memintanya.

12 Mei 2016

Membunuh John Lennon, Sekali Lagi

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace


Demikian potongan lirik imagine-nya John Lennon. Entah setan apa yang merasuki jiwanya sampai membuat lirik segila itu.

Lagu ini membuat aku merinding ketika pertama kali mendengarnya sekitar 8 tahun lalu. Dan daya magisnya masih menghantuiku hingga detik ini.

Sampai akhirnya aku mendapat ide yang tak kalah gilanya: berjanji melamar wanita yang spontan mengungkap pendapatnya ketika kutanyakan: apa pendapatmu tentang Imagine-nya John Lennon?

Apa daya, nasib sering -tak hanya kadang- berkata lain. 8 tahun berlalu, jawaban yang kudapatkan adalah pertanyaan: lagu apa itu? Siapa John Lennon? Oh my God! Sungguh di luar ekspektasi.

Mungkin tak seperti lanjutan lirik lagu tersebut

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one 

Mungkin aku hanya pemimpi dan tak seorang pun di dunia ini yang punya mimpi seperti mimpiku.

Aku semakin tua dan mulai berpikir untuk melupakan ide gilaku.

Aku ingin membunuh John Lennon. Sekali lagi.